Senin, 23 September 2019

Membangun Budaya Baca Keluarga




Giat literasi di Indonesia semakin terasa setelah pemerintah mencanangkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan mengimplementasikannya di sekolah dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan ini bermula dari keprihatinan akan rendahnya kemampuan literasi siswa Indonesia yang tercermin dalam beberapa hasil tes berstandar internasional. Dengan gerakan ini diharapkan pada akhirnya dapat mendongkrak kemampuan literasi siswa secara khusus, maupun masyarakat Indonesia secara umum.
Masyarakat yang memiliki tingkat literasi yang baik tentunya akan menjadi kunci penentu kualitas bangsa. Dalam era globalisasi ini, banyak tantangan yang harus dihadapi. Yang paling nyata, pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi perlu diimbangi dengan kecakapan mengolah informasi. Salah satu jalan untuk mengasah kecakapan tersebut adalah melalui kegiatan literasi, terkhusus keterampilan membaca.
Gerakan LIterasi Nasional (GLN) akan menjadi timpang ketika hanya pemerintah dan sekolah yang bertindak. Kunci utama keberhasilan GLN sebenarnya terletak pada keluarga. Keluarga dapat berkontribusi dengan membangun budaya baca. Beberapa langkah berikut dapat dijadikan acuan untuk mewujudkannya.

1.  Menjadi pribadi yang gemar membaca

Banyak tokoh besar yang tumbuh dengan kebiasaan membaca, sebut saja (alm) Presiden Abdurraham Wahid,  (alm) Presiden B.J. Habibie, serta Wakil Presiden Jusuf Kala. Tak ketinggalan, nama-nama seperti Dian Sastrowardoyo, Maudy Ayunda, Andi F. Noya dan Najwa Shihab juga menjadi tokoh terdepan dalam hal kecintaan membaca. Banyak alasan mengapa mereka gemar membaca, salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Dewi Lestari, penulis serial best seller Supernova, “Membaca adalah guru terbaik dalam hidupku, karena dengan membaca aku mengerti banyak hal dan dengan membaca aku mampu melihat sisi lain dari dunia ini.”

Kesadaran akan pentingnya membaca pasti ditanamkan dalam keluarga sebagai lingkungan pertama yang ditemui anak. Oleh karena itu, sebagai orang tua hendaknya kita mematutkan diri menjadi seorang pribadi yang gemar membaca. Mau tidak mau kita akan menajadi teladan bagi anak-anak atau orang-orang di sekeliling kita, termasuk menjadi teladan dalam membaca. Jika Andi F. Noya dan Najwa Shihab didaulat menjadi duta baca nasional, maka kitapun sebenarnya juga memperoleh mandat yang tak kalah penting, yaitu menjadi duta baca bagi keluarga kita.
Pertanyaannya, apakah kita mau berkomitmen untuk menjadi pribadi yang gemar membaca?

2.  Jadikan buku sebagai investasi

Tak berlebihan rasanya jika Walt Disney, tokoh yang banyak berperan dalam cerita anak, mengatakan “Ada lebih banyak harta di dalam buku daripada yang didapat perampok dari Pulau Harta.” Berbicara tentang buku sebenarnya berbicara tentang sebuah investasi, karena dalam buku terkandung informasi maupun nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi bekal bagi pembaca dalam menghadapi kehidupan.
Salah satu tokoh pendidikan dari Inggris, Charlotte Mason, secara khusus mendorong orang tua untuk memilihkan buku-buku yang bermutu bagi anak-anak. Mason memperkenalkan konsep living books untuk menyebut buku-buku berkualitas yang menyimpan nilai-nilai moral yang dirancang oleh penulisnya. Buku-buku karangan Beatrix Potter, Hans Christian Andersen, Lucy M. Montgomery, C. S. Lewis, Charles Dickens, Mark Twain dan Lewis Carroll termasuk dalam deretan pustaka yang disarankan oleh Mason. Buku-buku tersebut memiliki kapasitas untuk menggugah potensi, termasuk moral dan karakter anak.
Dengan perkembangan teknologi yang ada, kita bisa memilih buku dalam versi cetak maupun elektronik. Kita juga bisa memperoleh referensi tentang isi buku dari resensi yang dibagi tidak hanya di media cetak, namun melalui kanal-kanal media sosial yang terhubung dalam dunia maya. Kita juga mendapat kemudahan membeli untuk buku melalui toko buku online maupun offline.
Pertanyaannya adalah apakah kita mau mengagihkan sebagian keuangan kita untuk membeli buku-buku yang berkualitas bagi keluarga?

3.  Ciptakan perpustakaan keluarga


Ketika mulai berkomiten membangun keluarga, ruang perpustakaan menjadi salah satu impian yang akan kami wujudkan bersama. Bisa ditebak (atau dibaca dalam beberapa unggahan sebelumnya) bahwa buku memiliki peran yang istimewa dalam kisah kasih keluarga kami. Dan kini, perpustakaan itu telah mulai terwujud dan  menjadi salah satu tempat favorit kami. Ungkapan Desiderius Erasmus, “Your library is your paradise” menjadi salah satu hal yang kami yakini. Rupa-rupanya berada diantara kumpulan buku-buku dapat mencipta ketenangan dan kesukaan tersendiri, layaknya kita berada di ‘surga’. Hal ini juga yang diungkapkan oleh J. K. Rowling melalui tokoh ciptaannya yang gemar membaca, Hermione yang mengatakan kalau kita sedang ragu kita bisa mengunjungi perpustakaan. Perasaan ini tentu saja bukan muncul secara tiba-tiba.
Kecintaan dan kelekatan terhadap buku perlu dibiasakan, perlu diusahakan. Menciptakan perpustakaan adalah salah satu upaya untuk membentuk budaya itu. Perpustakaan keluarga bisa diawali dengan sebuah rak kecil berisi koleksi buku-buku yang diatur sedemikian rupa sampai dengan sebuah ruang yang memang khusus diciptakan untuk perpustakaan.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita mau menempatkan perpustakaan sebagai salah satu prioritas dalam rumah kita?

4.  Kunjungi perpustakaan

Keterbatasan bahan bacaan sekarang bukan menjadi persoalan. Kita dapat mengajak anggota keluarga, terkhusus anak-anak, untuk mengunjungi perpustakaan. Jika perpustakaan sekolah dibatasi waktu, kita masih memiliki pilihan lain. Perpustakaan daerah sekarang berkembang pesat. Bukan hanya buku-buku saja yang disediakan. Untuk anak-anak, disediakan pula berbagi alat permainan edukatif (APE). Selain itu, perpustakaan juga memfasilitasi berbagai kegiatan menarik, seperti pemutaran film keluarga, lomba-lomba terkait literasi, pameran dan bazaar. Selain perpustakaan daerah, kini telah bermunculan pula berbagai taman bacaan masyarakat (TBM) baik yang dikelola oleh perorangan, rumah ibadah, maupun komunitas.
Pembiasaan mengunjungi perpustakaan selain sebagai bentuk waktu berkualitas bersama (quality time), sekaligus akan menciptakan kesan bahwa buku dapat menjadi sarana untuk bertemu dengan komunitas yang lebih luas. Tak menutup kemungkinan bahwa perpustakaan dapat menjadi tempat ‘nongkrong’ yang mengasyikkan. Peran perpustakaan tak perlu lagi kita ragukan. Sidney Sheldon secara apik mengatakan bahwa perpustakaan membuka jendela ke dunia dan menginspirasi kita untuk mengeksplorasi dan mencapai, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup kita
Dengan melihat potensi yang ada, pertanyaannya adalah apakah kita bersedia mengagendakan waktu untuk mengunjungi perpustakaan itu bersama keluarga?

5.  Membicarakan buku


Komunikasi adalah hal yang sangat vital dalam membangun budaya membaca dalam keluarga. Membicarakan buku dapat diawali dengan membacakan buku bagi anak-anak. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku (Gernas Baku) pada tahun 2018. Gerakan ini adalah salah satu upaya untuk meningkatkan peran serta orang tua dalam membangun budaya literasi keluarga, terkhusus bagi anak-anak usia dini yang belum bisa membaca.


Masih terekam dalam ingatan bagaimana ibu kerap kali membacakan buku atau mendongeng sebelum saya tertidur. Hal itu menjadi momen yang sangat mengesankan dan menginspirasi saya untuk melanjutkan warisan literasi keluarga ini kepada anak saya. Hampir setiap malam, membaca buku adalah ritual yang mengatarkannya tidur menuju peraduan.
Buku juga berpotesi untuk menjadi bahan disukusi antara oran tua dan anak. Bill Gates bahkan mengatakan bahwa salah satu hal yang dibiasakan oleh orang tuanya adalah melibatkannya dalam diskusi-diskusi bersama. Salah satu topik yang dibahas adalah tentang buku. Dengan pengalaman yang masih terbatas, saya sendiri terkadang merasa takjub akan berbagai hal yang bisa dibicarakan ketika kami membuka buku bersama.
Jadi pertanyaannya, maukah kita menjadikan buku sebagai salah satu topik pembicaraan kita dalam keluarga?

Membangun budaya membaca memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita membutuhkan usaha, komitmen dan konsistensi yang perlu terus dijaga nyalanya. Dan sebagai pribadi, orang tua, bagian dari keluarga, kita sungguh berperan penting di dalamnya. GLS akan menjadi timpang ketika keluarga tidak memberikan dukungan. Dengan sinergi dari semua pihak, gerakan literasi akan menjadi sukses. Dengan mematutkan diri menjadi seorang pribadi yang gemar membaca, menjadikan buku sebagai investasi, membangun perpustakaan keluarga, mengunjungi perpustakaan serta membicarakan buku, kita berjibaku untuk mewujudkan keluarga yang literat, berbudaya baca. Pada akhirnya keluarga-keluarga Indonesia, bersama-sama, memercikkan asa untuk mewujudkan generasi masa depan yang berkualitas.
Selamat merenungkan dan menjawab pertanyaan yang terlontar. Selamat terus melangkah. Selamat membangun keluarga yang berbudaya baca. Selamat mencipta pemimpin yang gemar membaca. Salam Literasi.

 #SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga

Bacaan lanjutan tentang living books:
Kristi, Ellen. (2016) Cinta yang Berpikir Sebuah Manual Pendidikan Karakter Charlotte Mason. Semarang: Ein Institute.

Link quote tokoh:
http://tiny.cc/a9tdaz (Bill Gates)
http://tiny.cc/o6tdaz (Dewi Lestari)
http://tiny.cc/d8tdaz (Desiderius Erasmus)
http://tiny.cc/uxt8cz (J.K. Rowling) 
http://tiny.cc/kaudaz (Sidney Sheldon)

http://tiny.cc/zbudaz (Walt Disney)


Related Posts:

4 komentar:

  1. Aaaaaaa. . Bu guru. . Kereeeen. . Keep inspiring 😍

    BalasHapus
  2. Luar biasa kelg Bp/ ibu Sri Bangun Wismono
    Hari- hari begini harus digiring anak2 utk suka membaca...like

    BalasHapus