Tampilkan postingan dengan label love story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label love story. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Agustus 2014

Ada Dunia Baru

Sebelum dan selepas bulan puasa dan Lebaran, ada cukup banyak pernikahan dilaksanakan. Setelah menikah, aku sudah cukup akrab dengan acara bidstond persiapan pernikahan mendampingi suamiku. Salah satu yang menarik untuk diceritakan adalah beberapa waktu yang lalu ketika dalam sebuah bidstond tersebut ada sepasang suami istri, kebetulan duduk di sebelahku, yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama setengah abad dan dalam acara itu berduet menyanyikan lagu favorit mereka. Nampaknya lagu tersebut cukup lawas, namun baru kali itu kami mendengarnya. Judulnya Ada Dunia Baru.

Ada dunia baru Negeri harapan
Kukan sampai disana Bila kau membimbingku
Kuharap kau selalu, Kau ada disampingku
Karna hanya kau berarti bagiku

 

Bagi setiap insan ada pasangannya
Dan sudah kuputuskan kaulah teman hidupku
Meski kujelajah dunia sampai akhir hayatku
Namun hanya kau berarti bagiku

 

Jalannya masih jauh dampingilah aku
Bila taufan menderu jadilah kau panduku

 

Melimpahnya harta apalah artinya
Mungkin besok hilang lagi dan aku tak peduli

 

Tapi bila hilang cintamu, patahlah semangatku
Karna hanya kau berarti bagiku
Karna hanya kau berarti bagiku



Lagu tersebut terngiang-ngiang di telinga suamiku. Maka sepulang dari sana, kubuka laptop dan mencari lirik serta videonya. Menarik juga mencermati bait demi bait lagu tersebut.

Lagu itu dibuka dengan sebuah keyakinan bahwa ada dunia baru yang akan dihadapi manusia, dunia yang merupakan sebuah pengharapan. Boleh dikata dunia baru itu adalah 'surga,' atau kehidupan sesudah mati. Sebuah hal yang banyak menjadi keyakinan manusia yang percaya bahwa hidup tidak hanya berakhir di dunia ini, namun ada hal lain setelah itu. Lalu hidup di dunia ini dinyatakan seperti layaknya sebuah perjalanan panjang menuju tempat pengharapan itu. Sang komposer menyatakannya dalam lirik, "Jalannya masih jauh dampingilah aku."  

Menurut penuturan penggubah, setiap manusia diciptakan berpasangan, "Bagi setiap insan ada pasangannya, Dan sudah kuputuskan kaulah teman hidupku." Di sini diisyaratkan bahwa menikah adalah sebuah keputusan yang diambil secara sadar. Menikah berarti menganggap pasangannya sebagai teman hidup. Teman hidup yang akan menemani selama perjalanan menuju dunia baru yang penuh pengharapan itu. Dan penulis menyadari bahwa dalam perjalanan itu ada banyak tantangan yang harus dihadapi, bisa dikatakan sebagai persoalan-persoalan hidup. Dalam lagu tersebut digambarkan dengan kata taufan. Secara bersamaan penulis juga mengharap pasangan, teman hidupnya untuk menjadi pandu dalam perjalanannya. Supaya apa? Supaya tetap kuat berjalan, tidak mudah tergoyahkan, tersesat, bahkan tumbang dalam menghadapi pencobaan. 

Dalam lagu tersebut juga ada penekanan akan apa yang dianggap penting dalam membangun rumah tangga, bukan harta dunia namun cinta. Cinta yang bukan sekedar cinta, tetapi yang bisa membangkitkan semangat hidup.

Menghayati lagu ini dengan menyaksikannya secara langsung dari saksi hidup yang sudah menjalaninya selama 50 tahun tentulah menjadi sangat bermakna. Mereka sudah merasakan apa yang namanya taufan itu dan mereka tetap setia bertahan, menjaga komitmen untuk menjadi teman seperjalanan yang paling dekat satu dengan yang lain. 

Dalam salah satu pembahasan Pendalaman Alkitab bersama yang kuikuti, jelaslah bahwa hidup ini memang sebuah perjalanan keselamatan menuju kesempurnaan. Keselamatan hidup yang sudah diberikan dan diterima tidak lalu terhenti. Ada perjalanan panjang yang masih harus ditempuh hingga nanti kesempurnaan keselamatan itu diterimakan, ketika kita memasuki dunia baru yang dijanjikanNya. Dan dalam perjalanannya kita tak sendiri, ada teman-teman seperjalanan yang sama-sama menuju ke sana, meskipun tetap ini adalah perjalanan secara individu. Arti penting dari memiliki teman seperjalanan sudah tidak dapat disangsikan lagi. Mereka bisa menjadi teman ngobrol, berbagi; menjadi sesama yang saling menajamkan dan menguatkan-asal kita tak menjadi lemah pada akhirnya.

Dan pasangan hidup, suami atau istri, adalah teman seperjalanan yang paling dekat. Tak kita tahu seutuhnya bagaimana dunia baru itu adanya, namun satu keyakinan bahwa itu ada. Siapapun pasangan kita saat ini dan bagaimanpun keadaannya nanti di dunia baru itu, sunggulah penting untuk menjadi teman seperjalanan, menjadi tim yang baik. Keputusan menikah tentulah diambil secara sadar lengkap dengan konsekuensi yang menyertainya. Dan tujuan menikah bukan hanya bagi kepentingan kita di dunia ini saja, namun seperti yang tersirat dan tersurat dalam lagu Ada Dunia Baru, untuk bersama-sama menuju sebuah dunia penuh pengharapan baru kelak.

Masih sedikit hal yang kami pelajari dalam setahun perjalanan kehidupan berdua ini. Namun cinta yang menyemangati itu perlu terus diusahakan, mengingat cinta adalah kerja, bukan keadaan. Keputusan yang sudah kami ambil dan deklarasikan memang harus terus dipertanggungjawabkan. Dan kami belajar untuk itu. Karena ketika berdua kami tentu ingin menjadi lebih baik daripada ketika sendiri. Pun kami menyadari bahwa lagu itu harus saling dinyanyikan, bukan hanya satu pihak saja.

Dan tentu saja, aku bersyukur untuk teman seperjalanan terdekatku yang Tuhan berikan dalam hidupku. Praise the Lord for He is Good All the Time.

Selasa, 12 Agustus 2014

The Invitation and the Souvenir

1. The Invitation 
Konsep dasar undangan pernikahan kami adalah konsep surat. Salah satu penyaluran dari idealismeku, termasuk salah satu ayat favoritku, bahwa kita adalah suratan yang terbuka.

Serat Ulem 1
Undangan ini untuk hari H pemberkatan dan peneguhan nikah di gereja. Warnanya merah dengan gambar sepasang wayang Kamajaya-Kamaratih di depan, foto kami berdua di sudut kiri dalam serta denah lokasi dan puisi karya calon mempelai lak-laki di bagian belakang.

Masih kuingat ketika kami sore itu browsing contoh undangan yang berbahasa Jawa di internet kemudian menyusun desainnya. Untuk undangan ini kami menggambarkan  konsep hasil diskusi di secarik kertas. Proses selanjutnya diambil alih oleh panitia di gereja.

Serat Ulem 2
Meski mengusung konsep yang sama, namun penampilannya cukup berbeda. Boleh dibilang ini adalah undangan yang cukup narsis, mengingat ada 4 foto kami yang terpampang di sana. Dan ini adalah masterpiece dari adikku. Dari awal memang aku meminta kesediaannya untuk membuatkan dan dia mengiyakan. How lucky I am!

Konsep awalnya kubuat secara sederhana di word, lalu di depan komputer, adikku mendesain dan aku duduk di sana memberi masukan, ide dan komentar.
 
Background depan dan belakang berwarna dasar putih. Di halaman depan ada satu foto yang dimodifikasi seolah-olah sebagai perangko dengan stempel, “we’re getting married.” Di pojok kiri atas tertulis Serat Ulem dan di bawahnya tanggal pelaksanaan acara di rumah orang tuaku. 

Halaman dua dan tiga berkonsep seperti undangan pada umumnya, tentang identitas kami berdua beserta orang tua, tanggal pelaksanaan pemberkatan dan peneguhan pernikahan, serta tanggal pelaksanaan acara di rumah.  All are in Javanese. Dua foto kami yang diambil dengan setelan kebaya dan beskap. Nuansa hijau, hitam dan merah mendominasi halaman ini.

Halaman belakang berisi denah menuju lokasi yang diadaptasi adikku dari Google Map. Foto kami dipajang di sisi kiri dan kanan seolah sebagai bingkainya. Di bagian bawah aku menyisipkan kutipan dari Mother Teresa, “It’s not how much we do, but how much love we put in the doing. It's not how much we give but how much love we put into giving.” Selain belajar menghayati makna yang terkandung di dalam kalimat itu, sebuah unsur kesengajaan juga aku tambahkan. Unsur bahasa Inggris. Tidak menyangka sebelumnya bahwa undangan nikahku akan berbahasa Jawa. But, it was great!  
Proses desain adalah proses yang panjang dan berat. Aku tahu kerja keras adikku untuk membuatnya. Terima kasih untuk karya yang excellent, bro!

2. The Souvenir
PENSIL itu pilihan kami. Kami sama-sama menyukainya. Suamiku ternyata juga lebih suka menulis dengan pensil dibanding dengan pena. Sebenarnya kami menginginkan bentuk pensil yang segitiga seperti salah satu souvenir hotel yang kami jadikan referensi, namun kami mendapati hanya yang bulat. 

Yang tertera di sana nama, lokasi dan tanggal. Sebagai tambahan ucapan terima kasih, kutipan yang  lain dari Bunda Teresa kami sertakan, “Seumpama sebatang pensil di tangan Tuhan yang menuliskan surat cinta-Nya kepada dunia, demikianlah adanya kita.” Kutambahkan satu kalimat, “Bahagiaku menarikan bait-bait cinta itu bersamamu, kekasihku.”

Untuk souvenir yang di gereja, konsepnya juga sama namun kemasannya yang berbeda. Pensil itu terbungkus dalam kotak warna merah yang elegan. Nama kami berdua tercantum jelas di sana.

Ponsa Souvenir
Setelah survey beberapa kali di beberapa lokasi dengan beberapa keterbatasan yang ada, akhirnya kami memutuskan untuk memilih Ponsa sebagai tempat kami memesan souvenir dan mencetakkan undangan. Lokasi yang cukup dekat dan pemiliknya yang ramah menjadi alasannya. Aku mendapatkan nomor telpon dari souvenir yang kudapat dari reuni dengan teman-teman SMU.

Sang pemilik, Mbak Flo, yang ketika itu tengah hamil besar melayani permintaan kami, termasuk mencarikan pensil seperti yang kami inginkan. Menurut penuturannya, ini kali pertama membuat seperti yang kami minta. Meski hasil pensilnya tidak semulus contoh, kami tetap menyukainya.

Proses penyelesaiannya juga melalui tatap muka langsung dan juga melalui internet. Beberapa kali kami ke sana untuk mengecek dan mengambil pesanan. Dan di H-1 Mbak Flo dan salah satu teman prajabku datang ke rumah mengantar kekurangan souvenir sekaligus memberi souvenir dan hadiah bagi kami. Putranya juga sudah lahir beberapa waktu sebelumnya.

Jadi kesimpulannya masih sama, it was a great teamwork. Banyak pribadi yang terlibat dan menolong kami, termasuk mewujudkan idealisme dan ide-ide kami. Thanks all!

Minggu, 10 Agustus 2014

The Sunny Pre Wedding Shots





Salah satu moment yang tak terlupakan dalam rangkaian persiapan pernikahan kami adalah pre wedding shots. Dulu aku punya impian juga ingin merasakan bagaimana serunya pre-wedding shots itu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, beberapa tahun sebelumnya-sebelum bertemu dengan calon suami, aku sudah mencari-cari foto-foto pre wedding di internet dan menyimpannya di laptop. And dream came true. Praise the Lord!



Awalnya kami hendak meminta tolong adikku untuk menjadi fotografernya, toh dia sudah tahu angles andalan kami. Kami berdua juga sudah mereka-reka kira-kira mau befoto konsep yang seperti apa, di mana, bagaimana kostum, properti dan sebagainya. Namun tidak semuanya terwujud seperti harapan. Beberapa hal menjadi kendala untuk bisa mewujudkan semua seperti harapan. Meski demikian momen itu sungguh luar biasa.



Setelah dua jam menyelesaikan tugas mengajar hari itu, aku meminta ijin kepada kepala sekolah untuk meninggalkan kantor. Diantar calon suami, aku menuju salah satu salon yang direkomendasikan Pak Andre, fotografer gereja yang juga akan menjadi fotografer kami hari itu. Sementara aku dirias, tunanganku pulang mempersiapkan tugasnya hari itu dan mengambil kostum.



Kostum yang kami pakai ada tiga macam. Kostumku: kebaya merah dan rok jarik yang merupakan salah satu seserahan di hari pertunangan kami, kebaya jadul hitam motif bunga besar yang kami dapatkan di pasaraya beserta rok jarik putih milik ibu, kebaya putih lengan pendek dan rok klok panjang berwarna hijau yang sudah aku punya. Kostum tunanganku: beskap hitam komplit, surjan dan setelan jas. Semua properti pribadi yang sudah dipunyainya. Sempat kami mencoba mencari kostum, terutama gaun, namun mempertimbangkan waktu yang belum bisa fix, kami tidak jadi mengambil opsi tersebut. Sedangkan untuk properti tambahan ada buket bunga plastik hijau putih yang kupinjam dari Bu Tatik serta payung merah milik Bapak Patmaya.



Setelah selesai kami memakai kostum yang pertama dan waktu sudah lewat dari jam sepuluh. Kami bersegera ke lokasi. Untuk menuju lokasi, kami ditolong oleh Bapak dan Ibu Patmaya yang dengan sukarela menyediakan transportasi bagi kami. Lokasi yang kami pilih adalah Gedung MTC milik sinode GKMI yang berlokasi di dekat Gedung Bina Darma di Bugel. Tempat ini hasil rekomendasi adikku yang sebelumnya sudah pernah menggunakannya untuk kegiatan LDK bersama murid-muridnya. Beberapa waktu sebelumnya, kami berdua datang ke lokasi yang masih dalam tahap penyelesaian itu dan mengutarakan maksud kami. Pengurusnya, Mas Tomi, menyambut dengan tangan terbuka dan mempersilahkan kami untuk memakainya. Lokasi yang cukup dekat, dengan beberapa sudut yang menarik membuat kami mantap untuk memakainya. Lagipula tempat ini belum terlalu banyak terekspos, jadi lebih seru dibandingkan tempat-tempat lain di dalam kota kecil ini.



Tanpa menunda, kami langsung melaksanakan misi sesampainya di sana. Oh, it wasn’t easy. Kami tak terbiasa difoto resmi begitu dan disaksikan orang lain. Apalagi kami bukan model. Jadi banyak pose yang diulang-monoton, banyak pose yang kaku dan malu-malu. Tapi kami berusaha menikmatinya. Beberapa kali Pak Andre, Pak Maya dan Ibu meminta kami untuk santai dan tidak usah malu-malu beraksi. Tapi tetap saja kami masih banyak malu-malunya.



Kami mengakhiri sesi foto hari itu saat matahari makin terik bersinar. Bisa kami lihat usaha keras Pak Andre, termasuk cucuran keringat di wajahnya. Kamipun beristirahat di bangsal terbuka yang luas dan nyaman sambil menikmati semilir angin yang mengurai kepanasan siang itu. Konsumsi telah tersedia berkat tangan cekatan adik bungsuku yang kuminta membantu. Kamipun bersantap siang sambil bercakap-cakap.  Akhirnya kami berkemas, kembali ke salon untuk mengembalikan beberapa barang dan pulang.



What a day! Kami bersyukur dengan apa yang boleh kami nikmati. Sungguh suatu anugerah. Banyak pribadi yang menolong kami mewujudkan impian ini. We are so thankful. Hasilnya tercetak di undangan (akan menjadi cerita di posting yang lain), dua figura besar dan dua MMT; mungkin juga di MTC karena kami mengirimkannya juga sesuai permintaan Mas Tomi. Dan sampai sekarang aku masih suka membuka file dan melihat-lihat hasil jepretan Pak Andre tersebut. Tersenyum dan sekali lagi, tak henti bersyukur, untuk kisah dan kasih yang teranyam dalam perjalanan cinta dan hidup kami. Thank you, Lord! You are awesome.

Minggu, 08 Juni 2014

OUR LOVE LESSONS



Cinta itu juga seperti sekolah. Ada hal-hal yang harus dipelajari. Bedanya dengan sekolah umum, cinta itu tergolong sekolah khusus, atau mungkin malah masuk kategori homeschooling, karena masing-masing pasangan memiliki kisah tersendiri yang tidak bisa dipelajari berkelompok. Namun itulah yang membuat dunia ini berwarna-warni.

Pelajaran cinta kami berdua terjadi bukan hanya ketika proses katekisasi pra nikah dan pendadarannya. Proses itu berlangsung jauh sebelumnya, bahkan sebelum kami bertemu. Secara pribadi kamipun sudah belajar otodidak dari buku-buku, mulai dari Lady in Waiting, Men Like Wafer and Women Like Spaghetti, A to Z Pra Nikah, I Isacc Take thee Rebekah, Selamat Ribut Rukun dan semacamnya. Secara khusus, calon suamiku- ketika itu, bahkan sudah memberikan pelajaran kepada pasangan-pasangan yang akan menikah meskipun dia sendiri belum mengalaminya.

Dan jika dituliskan, beberapa hal inilah yang kami pelajari bersama sejak proses kedekatan hingga tiba di hari pernikahan. Beberapa catatan ini mungkin tidak sama dengan buku, atau bahkan tidak sekomplit di buku; namanya juga pengalaman pribadi.

#1 Cinta adalah rasa dan karsa
“Lonceng bukanlah lonceng hingga kau membunyikannya. Lagu bukanlah lagu hingga kau menyanyikannya. Cinta bukanlah cinta hingga kau menyatakannya.” Itu adalah sebuah kutipan yang kukenal sejak bangku SMP. Suatu pernyataan bahwa cinta itu adalah rasa yang diejawantahkan. 

Ketertarikan yang menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mengenal lebih dekat adalah awalnya. Dalam kisah kami,  rasa itu tertangkap oleh radarku dan akhirnya terungkap. Responku tidaklah serta merta mengiyakan, namun menelaah, memahami, melogika, bahkan meredamnya. Kesimpulanku: banyak yang tidak masuk logika.

Akhirnya tiba juga giliranku merasakannya. Masih terekam jelas scene itu. Dia bersepeda di halaman gereja dengan setelan jas hitam lengkap. Dan begitu saja, tiba-tiba jantungku berdetak dengan tempo yang dipercepat. Oh, I got the crush! It was beyond description.

Kami meyakini bahwa rasa itu anugerah. Kami tetap mempercayai adanya campur tangan Tuhan dalam proses cinta kami. Dan kami bersyukur atas rasa itu. Rasa yang secara independent kami miliki dan kembangkan, tanpa paksaan atau dorongan dari pihak manapun. Dan aku bersyukur, dia berinisiatif mewujudkan rasa itu dalam karsa.



#2 Cinta adalah keterbukaan dan penerimaan
Salah satu statement yang pernah  aku lontarkan adalah “Jadilah orang yang dapat mencintai dan bisa dicintai.” Ternyata dalam statement itu tersirat keterbukaan dan penerimaan. Kisah cinta kami pun bisa berlanjut ketika masing-masing pribadi mau saling terbuka dan menerima.

Keterbukaan dan penerimaan itu meliputi kondisi saat itu. Fakta yang ada pada diri kami, yang menjadi atribut yang kami kenakan saat itu. Satu poin yang penting adalah bahwa dia adalah seorang pemuka agama (kata buku pelajaran jaman SD) dan aku seorang guru. Sebuah hal significant yang dalam prosesnya bisa kami, terkhusus, kuterima. Sekali lagi, melalui proses waktu. Keterbukaan dan penerimaan itu tentu juga meliputi sifat, kebiasaan, dan karakter kami.

Keterbukaan dan penerimaan itu juga meliputi kondisi masa lalu kami. Masa lalu adalah bagian dari semua manusia dan itu pulalah yang membentuk hidup kami saat ini. Terkadang menerima masa lalu sendiri saja susah apalagi menerima masa lalu orang lain. Perasaan tidak terima kadang bisa saja muncul. Cemburu akan masa lalu itu bisa saja terjadi. Tapi itu bagian yang sudah ada dan salah satu hal yang tidak dapat dirubah. Jadi yang bisa dilakukan adalah belajar berdamai dengan hal-hal yang mungkin kurang atau tidak kita sukai satu dengan yang lainnya. Kami belajar untuk terbuka dengan trauma, kekecewaan, atau pengalaman pahit masa lalu. Tentu saja kami pun belajar membagikan kesukacitaan, kenangan-kenangan indah, bahkan pencapaian-pencapainan kami di masa lalu. Motivasi kami adalah supaya masing-masing mengerti akan apa yang telah terjadi dalam kehidupan kami, karena sangat mungkin hal-hal di masa lalu muncul dan berimbas ke kehidupan masa kini maupun masa yang akan datang. Tentu, ini adalah pelajaran yang menguras emosi dan fikiran. Namun toh itu kenyataan cinta.

Keterbukaan dan penerimaan itu tentu saja mengarah pada kondisi masa depan kami. Pengetahuan tentang apa yang kami gali dari masa lalu serta atribut-atribut yang kini melekat pada kami, secara otomatis melibatkan keterbukaan dan penerimaan akan masa depan kami sebagai akibatnya.

Sebagai catatan, cinta bukan hanya masalah menerima dan terbuka dengan pasangan, namun pada saat yang berbarengan kami juga belajar untuk menerima dan terbuka dengan diri dan kondisi kami sendiri. Hal itu kami peroleh saat kami mau untuk tumbuh bersama. Sepintas, aku teringat dengan frase yang dulu cukup sering diucapkan alm. Bapak Nico Likumahua semasa aku kuliah, knowing yourself by knowning others. Dua sisi yang terjadi pada saat yang bersamaan.



#3 Cinta adalah keputusan dan komitmen
Hubungan cinta tidak akan terjadi tanpa adanya keputusan dari kedua belah pihak. Ketika akhirnya bersepakat, kami sadar akan adanya konsekuensi dari keputusan yang kami ambil tersebut. Sejak awal, kami berkomitemen untuk serius dan goal kami adalah pernikahan. Tentu saja kami tidak menjadi naif bahwa kemungkinan gagal itu tetap ada. 

Ndodog Lawang
Setelah setahun menjalin hubungan, bulan Januari 2013 keluarga kami bertemu. It was the proposal day. Sebuah pertemuan singkat yang memantapkan langkah kami untuk lanjut ke jenjang selanjutnya. Restu dan doa keluarga tentulah sangat berarti.

Tunangan
Sebulan berikutnya kami berdua mulai mempersiapkan beberapa hal untuk pertunangan, Februari 2013. Acara tersebut dilaksanakan juga di rumah orang tuaku. Diantar keluarga dan perwakilan rombongan gereja, calon tunanganku datang. Beberapa anggota keluarga besarku dan teman dekatku datang mendukung kebahagiaan kami. Ibadah pertunangan pun kami hayati, termasuk janji pertunangan kami ucapkan. Oya, mulai saat itu sebuah cincin bertuliskan nama pasangan kami melingkar resmi di jari manis tangan kiri kami. Cincin perlambang komitmen serta janji yang disaksikan di hadapan tamu yang hadir menjadi pengingat bagi kami akan keputusan yang kami ambil dan tanggung jawab yang menyertainya.

Katekisasi Pra Nikah
Ini adalah rangkaian proses pernikahan yang diisyaratkan gereja. Sebagai orang yang bersinggungan langsung dengan proses ini, calon suamiku tentu saja ingin melaluinya sesuai alur yang ada. Berdua kami bertemu, berdialog, dan mendapat pengajaran serta sharing pengalaman dari Pendeta senior kami. Dalam beberapa kali kelas privat tersebut kami diingatkan dan dibukakan berbagai hal tentang pernikahan baik dari sudut pandang teologi kristiani, finasial, seksualitas dan semacamnya. Terkhusus karena aku akan menikahi seorang pendeta, maka beliau tentu saja sangat mengetahui kehidupan seperti apa yang akan kami (terkhusus) aku bangun bersama. Pengajaran dan sharing pengalaman itu menjadi salah satu modal bagi kami untuk menghadapi dunia yang akan kami masuki bersama di sisa hidup kami selanjutnya.

Pendadaran
Sebagai tindak lanjut dari katekisasi pra nikah, sebuah pertemuan dengan beberapa anggota majelis dan orang tuaku diadakan. Karena kendala lokasi, calon ibu mertuaku tidak dapat ikut. Pertemuan ini adalah sebuah pemantapan akan niat kami untuk menikah. Di hadapan kedua orang tuaku, kami berdua ditanyai sekali lagi akan kesungguhan dan niat kami. Masih teringat jelas salah satu statement yang kudengar bahwa kelak aku tidak boleh menyesal dengan keputusanku sendiri jika ada hal-hal yang membuat gelo (kecewa). Toh ini adalah pilihan hidupku sendiri.

Itulah beberapa proses yang kami lalui bersama sebagai bagian dari persiapan pernikahan. Setelah pendadaran tersebut, keputusan kami dicantumkan dalam warta jemaat gereja.

Ya, keputusan dan komitmen yang kami buat berdua dan disaksikan oleh banyak pihak. Sebuah pengingat bagi kami berdua. Untuk sebuah keseriusan dan tanggung jawab. Itulah bagian dari makna cinta.
Keputusan dan komitmen itu terus kami usahakan dan pertahankan dengan mengingat akan Sang Pemberi Cinta yang kami yakini akan memampukan dan bisa kami andalkan untuk terus mengisi buli-buli minyak yang akan menjaga nyala cinta kami berdua.


Itulah tiga poin pelajaran cinta kami sebelum menikah. Tentu saja masih terus berlanjut hingga sekarang dan sampai seterusnya.