Tak kenal maka tak sayang
adalah sebuah pepatah lama yang sangat relevan untuk membahas keberadaan
perpustakaan. Gagasan sederhana yang kadang terlupa. Kita akan menyukai sesuatu
yang kita kenal, demikian juga dengan perpustakaan. Konsep ini pula yang akan
terjadi pada generasi muda. Pertanyaannya, siapa yang perlu mengenalkan
perpustakaan? Tidak bisa tidak, sebuah usaha sadar perlu diambil untuk
mengenalkan perpustakaan kepada anak-anak.
Aku masih ingat keberadaan
perpustakaan sekolah kala aku masih di bangku SD sekitar seperempat abad yang
lalu. Perpustakaan itu terwujud dalam sebuah lemari kayu coklat besar dengan
pintu geser kaca. Pada setiap bagian raknya, ada deretan buku-buku yang
mayoritas tidak terlalu tebal. Lemari besar itu ditempatkan dalam ruangan yang
sama dengan kantor guru. Jam istirahat menjadi saat bagi kami untuk menikmati
bacaan di sana. Satu buku bergambar yang masih lekat dalam ingatanku adalah
buku tentang aneka festival dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Jepang,
festival boneka, Hinamatsuri. Masih tergambar jelas, dalam setelan putih merah
itu aku suka sekali memilih dan meminjam buku-bukunya. Arti perpustakaan juga
ditambahkan oleh kedua orang tuaku yang kadangkala meminjamkanku buku-buku dari
perpustakaan sekolah dimana beliau dulu mengajar.
Perpustakaan yang lebih besar
kukenal di bangku SMP dan SMA. Ruangannya lebih besar dan tidak digabung dengan
ruangan-ruangan lain. Buku-buku dijejer secara vertikal sesuai kategorinya.
Waktukku tidak terlalu banyak kuhabiskan di sana, mengingat beban belajar dan
buku pelajaran yang cukup menyita perhatian. Terlebih, pada saat itu tidak
terlalu banyak teman yang suka berkunjung ke perpustakaan. Jenis bacaan yang
menjadi tren kala itu adalah komik. Cukup banyak persewaan buku yang hadir di
sekitar sekolah di kota kecil ini. Sebagian teman lebih memilih untuk meminjam
komik-komik dan novel-novel populer di sana. Buku-buku masa SMP dan SMA yang
kuingat sebagian karena dipinjami oleh beberapa teman dari ki koleksi pribadi
mereka. Dari sinilah aku mulai mengenal salah satu penulis top Indonesia, Dewi
Lestari, yang hingga kini karya-karyanya menjadi koleksi di perpustakaan
keluargaku.
Perpustakaan daerah juga mulai
kukenal dan kukunjungi beberapa kali. Kala itu, secara fisik, bangunan dan tata
ruangnya tidak terlalu menarik, meskipun sudah cukup banyak variasi koleksi
buku yang tersedia. Seingatku, setiap kali berkunjung suasananya cenderung sepi,
tidak terlalu banyak aktivitas terjadi. Ini jauh berbeda dengan kondisi
sekarang.
Aku menghabiskan waktu cukup
banyak di perpustakaan pada masa kuliah. Salah satu faktor pendukungnya adalah
karena perpustakaan di kampusku, Universitas Kristen Satya Wacana, menjadi
salah satu rujukan di daerahku. Mengunjungi perpustakaan menjadi salah satu
pilihan untuk memanfaatkan waktu jeda antar kelas. Ruangan-ruangan besar yang
disediakan di sana membuatku mendefinisikan perpustakaan sebagai sebuah surga.
Surga untuk menikmati petualangan solo menjelajahi lembaran-lembaran kisah.
Surga untuk mencari inspirasi dan menjalin relasi. Salah satu hobiku adalah
menyalin kutipan-kutipan dalam buku-buku yang kubaca.
Ketakjubanku pada ribuan
buku-buku yang berderet rapi dalam ruang sirkulasi kian bertambah manakala aku
mengambil tugas imbalan kerja di perpustakaan. Pertama, aku makin sering
memegang beraneka jenis buku secara langsung. Kedua, aku ikut mengamati
bagaimana para mahasiswa meminjam dan mengembalikan buku-buku tersebut. Ketiga,
aku menikmati saat-saat untuk mengembalikan dan mengatur buku-buku di rak-rak
yang ada. Tidak ada dokumentasi saat itu, namun kilasan sudut-sudut ruangan,
deretan rak-rak yang penuh dengan buku dan lembaran-lembarannya, serta
aktivitas di dalamnya masih tergambar dengan jelas. Bahkan, terkadang ruangan
dan suasana perpustakaan itu sesekali hadir dalam mimpiku. Dari sinilah, baik
secara sadar atau tidak, mimpiku untuk memiliki perpustakaan sendiri mulai
muncul.
Arti penting perpustakaan semakin
kuat kurasakan saat aku sudah bekerja. Sekolah sebagai kantorku, tentu saja
memiliki ruang, bahkan gedung perpustakaan yang acapkali disebut sebagai
jantung sekolah. Perpustakaan bukan sekedar kumpulan buku-buku dalam ruangan
saja. Sebagai seorang guru, aku belajar lebih jauh bahwa perpustakaan juga
tentang administrasi, tentang program kerja, tentang pelayanan dan yang pasti
tentang berbagai hal lain yang menyertai. Perpustakaan bagiku kini bukan hanya
sebatas apa yang ada dalam ruangan yang dilabel sebagai ruang perpustakaan.
Perpustaakaan adalah semangat untuk belajar dan berelasi dengan dunia.
Sebuah usaha sadar yang
kulakukan untuk ambil bagian dalam menyebarluaskan semangat tentang
perpustakaan adalah keputusanku untuk mengikuti seleksi duta baca yang dibuka
untuk umum oleh Dinas Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah tahun 2018.
Dengan segala keterbatasan aku nekat mendaftar dengan menyertakan berkas-berkas
sesuai petunjuk yang diminta. Jujur saja, label duta baca mematik rasa ingin
tahuku lebih jauh, terlebih melihat Tantowi Yahya, Andi F. Noya atau Najwa
Shihab yang didaulat menyandang gelar itu di tingkat Nasional. Sebuah
pertanyaan mucul di benakku. Jika orang-orang besar seperti mereka bisa
berkontribusi untuk membumikan perpustakaan, buku dan minat baca, apakah aku
juga bisa ambil bagian?
Dari 40-an peserta yang mendaftar, aku dinyatakan masuk sepuluh besar. Sebuah kejutan di ulang tahunku, yang membawaku untuk berkunjung ke perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Dan yang terjadi di sana adalah sebuah perjumpaan menyaksikan pengalaman dari teman-teman hebat yang sangat peduli dengan perkembangan dunia literasi di daerah masing-masing. Sebagian besar dari mereka berusia lebih muda daripada aku, namun decak kagum dan penghargaan layak diberikan kepada mereka atas visi dan dedikasinya.
Pada bulan Maret 2019 aku
diudang untuk ikut hadir dalam FGD (Focus Group Discussion) Kepustakawanan
yang diselenggarakan oleh Dina Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga.
Kembali dalam kesempatan itu aku dipertemukan dengan pribadi-pribdai luar biasa.
Baik karena tugas maupun karena motivasi
pribadi, mereka mendedikasikan diri untuk kemajuan literasi, secara khusus di
kota Salatiga. Mereka antara lain datang dari instansi pendidikan, pustakawan
dan komunitas TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Turut hadir pula salah satu pegiat
literasi yang juga seorang pelukis istimewa dari Salatiga, Bapak Sabar Subandi.
FGD itu juga sebagai sebuah proses dalam penyusunan Raperda yang berkaitan
dengan Penyelenggaraan Perpustakaan di kota Salatiga. Pertanyaan yang sama
kembali melintas, jadi apa yang bisa kulakukan?
Secara pribadi, aku
memanfaatkan platform media sosial yang kumiliki salah satunya untuk menyebarkan
semangat literasi. Melalui unggahan tentang buku, pembiasaan membaca bagi
keluarga maupun siswa, pembacaan puisi, dan sarana berbagi informasi seputar
literasi. Media sosial memang penuh dengan tantangan dan warna, tapi aku
memilih untuk tetap ada di sana, mencoba memberi warna di tengah segala hiruk
pikuknya. Aku juga mengikuti orang-orang yang menginspirasi dalam dunia
literasi, termasuk Najwa Shihab dan Nila Tanzil. Namun tak kalah juga,
teman-teman seperjuangan, para ibu yang memiliki semangat sama untuk
menumbuhkan literasi bagi keluarga dan lingkungannya. Kami laksana sebuah
komunitas virtual yang ada karena jalinan semangat literasi. Ada motivasi dan
semangat yang saling ditularkan dalam unggahan maupun percakapan yang terjadi
di baliknya.
Dalam lingkup sekolah, aku
turut ambil bagian dalam menyukseskan Gerakan Literasi Sekolah dengan melakukan
sosialisai kepada rekan kerja, mendampingi anak-anak dalam gerakan membaca
sebelum pelajaran serta menggagas kegiatan membaca massal. Di samping itu, aku
juga turut serta mencipta pojok bahasa Inggris dalam perpustakaan di sekolah
yang didukung oleh Univeristas Kristen Satya Wacana, English Reading Foundation
dan Indonesia Extensive Reading Association. Kami berusaha mepromosikan
kegiatan membaca untuk kesenangan (Reading for Pleasure), sebagai bagian
dari membaca secara extensive yang dinilai sebagai pematik minat baca yang
efektif.
Sebagai bagian dari komunitas,
aku juga berusaha mengenalkan perpustakaan pada lingkup yang lebih luas. Berawal
dari unggahan di media sosial Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga yang
menampilkan acara kunjungan anak-anak, baik dari sekolah maupun komunitas
keagamaan. Aku mengusulkan kepada pengelola kegiatan anak di gereja kami untuk
mengadakan kunjungan ke sana. Ide ini syukurnya disambut baik. Setelah
berkomunikasi dengan pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga, kami
melakukan kunjungan tersebut, beberapa saat sebelum layanan ditutup karena
pandemi yang terjadi.
Hari Minggu pagi awal bulan Maret itu, sekitar 40 anak dengan rentang usia dari balita hingga usia SMP berbondong-bondong menuju gedung perpustakaan yang memiliki arsitektur unik di kota ini. Orang tua dan guru-guru pendamping juga sangat antusias mendampingi. Kami disambut dengan baik oleh pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga. Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah mengikuti tur perpustakaan. Kami dikenalkan dengan lingkungan dan ruangan-ruangan yang ada di sana. Kemudian kami diberikan informasi tentang kegiatan yang bisa dan biasa dilakukan di sana. Rak-rak buku yang tertata rapi serta poster-poster yang berkaitan dengan literasi yang mengelilingi kami memberikan suasanya yang berbeda dan mengesankan. Setelah itu, anak-anak diajak untuk menuju ruang khusus yang berisi koleksi buku-buku anak dan beberapa mainan edukatif. Sungguh pemandangan yang sangat berharga melihat anak-anak berkomunikasi dengan sebayanya atau orang tua dengan media buku sebagai sarananya. Beberapa juga belajar berbagi dan bersosialisasi melalui mainan edukatif yang disediakan. Acara yang tak kalah serunya adalah manakala kami diajak menonton film dengan layar yang sangat besar di sebuah ruangan yang sedang tahap penyelesaian untuk dijadikan sebagai bioskop mini. Dua film pendek yang ditampilkan menampilkan cerita yang dekat dengan anak. Setelah itu diskusi sederhana yang dibangun oleh moderator dari pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga menjadikan pesan film itu terekam baik dalam ingatan kami.
Anak-anak terlihat sangat
menikmati semua rangkaian kegiatan ini hingga akhir. Demikian juga dengan orang
tua dan guru pendamping. Beberapa dari mereka bahkan akhirnya membuat kartu
keanggotaan baru dan langsung meminjam buku. Sebagian mengakui bahwa ini adalah
kali pertama mereka mengunjungi perpustakaan daerah. Sebuah akhir yang
membahagiakan, apalagi beberapa mengungkapkan kesan baiknya secara verbal.
Kenangan itu juga terus
tertanam dalam ingatan anakku yang kini berusia enam tahun. Beberapa kali dia
menuturkan ulang kilasan cerita yang dilaluinya ketika berkunjung ke
perpustakaan bersama teman-temannya itu. Memori ini menambah koleksi
pengalamannya mengunjungi perpustakaan. Sejak dini aku dan suami berusaha
mengajaknya ke sana. Beberapa kali kami menghabiskan waktu di ruang khusus
koleksi anak. Kadangkala kami juga mengajaknya untuk mengikuti kegiatan yang
dilakukan di luar gedung perpustakaan seperti bazar buku dan pameran hobi (community
gathering). Kami ingin dia menemukan bahwa ada banyak hal yang bisa
dilakukan di perpustakaan.
Merefleksi perjalananku secara
pribadi, sebenarnya anak-anak dengan sendirinya akan mengenal perpustakaan,
apalagi jika mereka memasuki lembaga pendidikan formal. Selain itu, mereka
mungkin akan menemui perpustakaan di kantor kelurahan dan lembaga-lembaga lain.
Meskipun demikian, mengenalkan
perpustakaan adalah tugas dan tanggung jawab kita sebagai pribadi yang sudah
terlebih dahulu mengenalnya. Pengenalan perpustakaan dengan usur kesengajaan
pasti akan memberi efek yang berbeda, apalagi kita sebagai orang terdekat yang
memperkenalkannya. Inilah sebuah kesadaran yang perlu terus dibangun. Setiap
kita adalah agen perubahan yang memiliki kapasitas untuk menanamkan benih-benih
baik. Kesadaran pribadi yang berlanjut pada kesadaran komunitas dimana kita
berada. Karena itu, mari kita agendakan waktu untuk mengunjungi perpustakaan.
Mari kita menjalin relasi dengan perpustakaan dan memetik hal-hal baik yang
bisa terjadi di dalamnya.
0 komentar:
Posting Komentar