Cinta itu juga
seperti sekolah. Ada hal-hal yang harus dipelajari. Bedanya dengan sekolah
umum, cinta itu tergolong sekolah khusus, atau mungkin malah masuk kategori homeschooling, karena masing-masing
pasangan memiliki kisah tersendiri yang tidak bisa dipelajari berkelompok.
Namun itulah yang membuat dunia ini berwarna-warni.
Pelajaran cinta
kami berdua terjadi bukan hanya ketika proses katekisasi pra nikah dan
pendadarannya. Proses itu berlangsung jauh sebelumnya, bahkan sebelum kami bertemu.
Secara pribadi kamipun sudah belajar otodidak dari buku-buku, mulai dari Lady
in Waiting, Men Like Wafer and Women Like Spaghetti, A to Z Pra Nikah, I Isacc
Take thee Rebekah, Selamat Ribut Rukun dan semacamnya. Secara khusus, calon
suamiku- ketika itu, bahkan sudah memberikan pelajaran kepada pasangan-pasangan
yang akan menikah meskipun dia sendiri belum mengalaminya.
Dan jika
dituliskan, beberapa hal inilah yang kami pelajari bersama sejak proses
kedekatan hingga tiba di hari pernikahan. Beberapa catatan ini mungkin tidak
sama dengan buku, atau bahkan tidak sekomplit di buku; namanya juga pengalaman
pribadi.
#1 Cinta adalah
rasa dan karsa
“Lonceng
bukanlah lonceng hingga kau membunyikannya. Lagu bukanlah lagu hingga kau
menyanyikannya. Cinta bukanlah cinta hingga kau menyatakannya.” Itu adalah
sebuah kutipan yang kukenal sejak bangku SMP. Suatu pernyataan bahwa cinta itu
adalah rasa yang diejawantahkan.
Ketertarikan
yang menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mengenal lebih dekat adalah awalnya.
Dalam kisah kami, rasa itu tertangkap
oleh radarku dan akhirnya terungkap. Responku tidaklah serta merta mengiyakan,
namun menelaah, memahami, melogika, bahkan meredamnya. Kesimpulanku: banyak
yang tidak masuk logika.
Akhirnya tiba juga giliranku merasakannya. Masih terekam jelas scene
itu. Dia bersepeda di halaman gereja dengan setelan jas hitam lengkap. Dan
begitu saja, tiba-tiba jantungku berdetak dengan tempo yang dipercepat. Oh, I got the crush! It was beyond
description.
Kami meyakini bahwa rasa itu anugerah. Kami tetap mempercayai adanya
campur tangan Tuhan dalam proses cinta kami. Dan kami bersyukur atas rasa itu.
Rasa yang secara independent kami
miliki dan kembangkan, tanpa paksaan atau dorongan dari pihak manapun. Dan aku
bersyukur, dia berinisiatif mewujudkan rasa itu dalam karsa.
#2 Cinta adalah keterbukaan
dan penerimaan
Salah satu statement yang pernah aku
lontarkan adalah “Jadilah orang yang dapat mencintai dan bisa dicintai.” Ternyata
dalam statement itu tersirat keterbukaan dan penerimaan. Kisah cinta kami pun bisa
berlanjut ketika masing-masing pribadi mau saling terbuka dan menerima.
Keterbukaan dan penerimaan itu
meliputi kondisi saat itu. Fakta yang
ada pada diri kami, yang menjadi atribut yang kami kenakan saat itu. Satu poin
yang penting adalah bahwa dia adalah seorang pemuka agama (kata buku pelajaran
jaman SD) dan aku seorang guru. Sebuah hal significant
yang dalam prosesnya bisa kami, terkhusus, kuterima. Sekali lagi, melalui
proses waktu. Keterbukaan dan penerimaan itu tentu juga meliputi sifat, kebiasaan, dan karakter kami.
Keterbukaan dan penerimaan itu juga
meliputi kondisi masa lalu kami. Masa
lalu adalah bagian dari semua manusia dan itu pulalah yang membentuk hidup kami
saat ini. Terkadang menerima masa lalu sendiri saja susah apalagi menerima masa
lalu orang lain. Perasaan tidak terima kadang bisa saja muncul. Cemburu akan
masa lalu itu bisa saja terjadi. Tapi itu bagian yang sudah ada dan salah satu
hal yang tidak dapat dirubah. Jadi yang bisa dilakukan adalah belajar berdamai
dengan hal-hal yang mungkin kurang atau tidak kita sukai satu dengan yang
lainnya. Kami belajar untuk terbuka dengan trauma, kekecewaan, atau pengalaman
pahit masa lalu. Tentu saja kami pun belajar membagikan kesukacitaan,
kenangan-kenangan indah, bahkan pencapaian-pencapainan kami di masa lalu. Motivasi
kami adalah supaya masing-masing mengerti akan apa yang telah terjadi dalam
kehidupan kami, karena sangat mungkin hal-hal di masa lalu muncul dan berimbas
ke kehidupan masa kini maupun masa yang akan datang. Tentu, ini adalah
pelajaran yang menguras emosi dan fikiran. Namun toh itu kenyataan cinta.
Keterbukaan dan penerimaan itu tentu
saja mengarah pada kondisi masa depan kami. Pengetahuan tentang apa yang kami gali dari masa lalu serta atribut-atribut
yang kini melekat pada kami, secara otomatis melibatkan keterbukaan dan
penerimaan akan masa depan kami sebagai akibatnya.
Sebagai catatan, cinta bukan hanya masalah menerima dan terbuka dengan
pasangan, namun pada saat yang berbarengan kami juga belajar untuk menerima dan
terbuka dengan diri dan kondisi kami sendiri. Hal itu kami peroleh saat kami
mau untuk tumbuh bersama. Sepintas, aku teringat dengan frase yang dulu cukup
sering diucapkan alm. Bapak Nico Likumahua semasa aku kuliah, knowing yourself by knowning others. Dua
sisi yang terjadi pada saat yang bersamaan.
#3 Cinta adalah keputusan
dan komitmen
Hubungan cinta
tidak akan terjadi tanpa adanya keputusan dari kedua belah pihak. Ketika
akhirnya bersepakat, kami sadar akan adanya konsekuensi dari keputusan yang
kami ambil tersebut. Sejak awal, kami berkomitemen untuk serius dan goal kami adalah pernikahan. Tentu saja
kami tidak menjadi naif bahwa kemungkinan gagal itu tetap ada.
Ndodog Lawang
Setelah setahun menjalin hubungan, bulan Januari 2013 keluarga kami
bertemu. It was the proposal day.
Sebuah pertemuan singkat yang memantapkan langkah kami untuk lanjut ke jenjang
selanjutnya. Restu dan doa keluarga tentulah sangat berarti.
Tunangan
Sebulan berikutnya kami berdua mulai mempersiapkan beberapa hal untuk pertunangan,
Februari 2013. Acara tersebut dilaksanakan juga di rumah orang tuaku. Diantar
keluarga dan perwakilan rombongan gereja, calon tunanganku datang. Beberapa
anggota keluarga besarku dan teman dekatku datang mendukung kebahagiaan kami.
Ibadah pertunangan pun kami hayati, termasuk janji pertunangan kami ucapkan.
Oya, mulai saat itu sebuah cincin bertuliskan nama pasangan kami melingkar
resmi di jari manis tangan kiri kami. Cincin perlambang komitmen serta janji
yang disaksikan di hadapan tamu yang hadir menjadi pengingat bagi kami akan
keputusan yang kami ambil dan tanggung jawab yang menyertainya.
Katekisasi Pra Nikah
Ini adalah rangkaian proses pernikahan yang diisyaratkan gereja. Sebagai
orang yang bersinggungan langsung dengan proses ini, calon suamiku tentu saja
ingin melaluinya sesuai alur yang ada. Berdua kami bertemu, berdialog, dan
mendapat pengajaran serta sharing pengalaman dari Pendeta senior kami. Dalam beberapa
kali kelas privat tersebut kami diingatkan dan dibukakan berbagai hal tentang
pernikahan baik dari sudut pandang teologi kristiani, finasial, seksualitas dan
semacamnya. Terkhusus karena aku akan menikahi seorang pendeta, maka beliau
tentu saja sangat mengetahui kehidupan seperti apa yang akan kami (terkhusus)
aku bangun bersama. Pengajaran dan sharing pengalaman itu menjadi salah satu
modal bagi kami untuk menghadapi dunia yang akan kami masuki bersama di sisa
hidup kami selanjutnya.
Pendadaran
Sebagai tindak lanjut dari katekisasi pra nikah, sebuah pertemuan dengan
beberapa anggota majelis dan orang tuaku diadakan. Karena kendala lokasi, calon
ibu mertuaku tidak dapat ikut. Pertemuan ini adalah sebuah pemantapan akan niat
kami untuk menikah. Di hadapan kedua orang tuaku, kami berdua ditanyai sekali
lagi akan kesungguhan dan niat kami. Masih teringat jelas salah satu statement
yang kudengar bahwa kelak aku tidak boleh menyesal dengan keputusanku sendiri
jika ada hal-hal yang membuat gelo
(kecewa). Toh ini adalah pilihan hidupku sendiri.
Itulah beberapa proses yang kami lalui bersama sebagai bagian dari
persiapan pernikahan. Setelah pendadaran tersebut, keputusan kami dicantumkan
dalam warta jemaat gereja.
Ya, keputusan dan komitmen yang kami buat berdua dan disaksikan oleh banyak
pihak. Sebuah pengingat bagi kami berdua. Untuk sebuah keseriusan dan tanggung
jawab. Itulah bagian dari makna cinta.
Keputusan dan komitmen itu terus kami usahakan dan pertahankan dengan
mengingat akan Sang Pemberi Cinta yang kami yakini akan memampukan dan bisa
kami andalkan untuk terus mengisi buli-buli minyak yang akan menjaga nyala
cinta kami berdua.
Itulah tiga poin pelajaran cinta kami sebelum menikah. Tentu saja masih terus berlanjut hingga sekarang dan sampai seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar