Minggu, 08 Juni 2014

OUR LOVE LESSONS



Cinta itu juga seperti sekolah. Ada hal-hal yang harus dipelajari. Bedanya dengan sekolah umum, cinta itu tergolong sekolah khusus, atau mungkin malah masuk kategori homeschooling, karena masing-masing pasangan memiliki kisah tersendiri yang tidak bisa dipelajari berkelompok. Namun itulah yang membuat dunia ini berwarna-warni.

Pelajaran cinta kami berdua terjadi bukan hanya ketika proses katekisasi pra nikah dan pendadarannya. Proses itu berlangsung jauh sebelumnya, bahkan sebelum kami bertemu. Secara pribadi kamipun sudah belajar otodidak dari buku-buku, mulai dari Lady in Waiting, Men Like Wafer and Women Like Spaghetti, A to Z Pra Nikah, I Isacc Take thee Rebekah, Selamat Ribut Rukun dan semacamnya. Secara khusus, calon suamiku- ketika itu, bahkan sudah memberikan pelajaran kepada pasangan-pasangan yang akan menikah meskipun dia sendiri belum mengalaminya.

Dan jika dituliskan, beberapa hal inilah yang kami pelajari bersama sejak proses kedekatan hingga tiba di hari pernikahan. Beberapa catatan ini mungkin tidak sama dengan buku, atau bahkan tidak sekomplit di buku; namanya juga pengalaman pribadi.

#1 Cinta adalah rasa dan karsa
“Lonceng bukanlah lonceng hingga kau membunyikannya. Lagu bukanlah lagu hingga kau menyanyikannya. Cinta bukanlah cinta hingga kau menyatakannya.” Itu adalah sebuah kutipan yang kukenal sejak bangku SMP. Suatu pernyataan bahwa cinta itu adalah rasa yang diejawantahkan. 

Ketertarikan yang menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mengenal lebih dekat adalah awalnya. Dalam kisah kami,  rasa itu tertangkap oleh radarku dan akhirnya terungkap. Responku tidaklah serta merta mengiyakan, namun menelaah, memahami, melogika, bahkan meredamnya. Kesimpulanku: banyak yang tidak masuk logika.

Akhirnya tiba juga giliranku merasakannya. Masih terekam jelas scene itu. Dia bersepeda di halaman gereja dengan setelan jas hitam lengkap. Dan begitu saja, tiba-tiba jantungku berdetak dengan tempo yang dipercepat. Oh, I got the crush! It was beyond description.

Kami meyakini bahwa rasa itu anugerah. Kami tetap mempercayai adanya campur tangan Tuhan dalam proses cinta kami. Dan kami bersyukur atas rasa itu. Rasa yang secara independent kami miliki dan kembangkan, tanpa paksaan atau dorongan dari pihak manapun. Dan aku bersyukur, dia berinisiatif mewujudkan rasa itu dalam karsa.



#2 Cinta adalah keterbukaan dan penerimaan
Salah satu statement yang pernah  aku lontarkan adalah “Jadilah orang yang dapat mencintai dan bisa dicintai.” Ternyata dalam statement itu tersirat keterbukaan dan penerimaan. Kisah cinta kami pun bisa berlanjut ketika masing-masing pribadi mau saling terbuka dan menerima.

Keterbukaan dan penerimaan itu meliputi kondisi saat itu. Fakta yang ada pada diri kami, yang menjadi atribut yang kami kenakan saat itu. Satu poin yang penting adalah bahwa dia adalah seorang pemuka agama (kata buku pelajaran jaman SD) dan aku seorang guru. Sebuah hal significant yang dalam prosesnya bisa kami, terkhusus, kuterima. Sekali lagi, melalui proses waktu. Keterbukaan dan penerimaan itu tentu juga meliputi sifat, kebiasaan, dan karakter kami.

Keterbukaan dan penerimaan itu juga meliputi kondisi masa lalu kami. Masa lalu adalah bagian dari semua manusia dan itu pulalah yang membentuk hidup kami saat ini. Terkadang menerima masa lalu sendiri saja susah apalagi menerima masa lalu orang lain. Perasaan tidak terima kadang bisa saja muncul. Cemburu akan masa lalu itu bisa saja terjadi. Tapi itu bagian yang sudah ada dan salah satu hal yang tidak dapat dirubah. Jadi yang bisa dilakukan adalah belajar berdamai dengan hal-hal yang mungkin kurang atau tidak kita sukai satu dengan yang lainnya. Kami belajar untuk terbuka dengan trauma, kekecewaan, atau pengalaman pahit masa lalu. Tentu saja kami pun belajar membagikan kesukacitaan, kenangan-kenangan indah, bahkan pencapaian-pencapainan kami di masa lalu. Motivasi kami adalah supaya masing-masing mengerti akan apa yang telah terjadi dalam kehidupan kami, karena sangat mungkin hal-hal di masa lalu muncul dan berimbas ke kehidupan masa kini maupun masa yang akan datang. Tentu, ini adalah pelajaran yang menguras emosi dan fikiran. Namun toh itu kenyataan cinta.

Keterbukaan dan penerimaan itu tentu saja mengarah pada kondisi masa depan kami. Pengetahuan tentang apa yang kami gali dari masa lalu serta atribut-atribut yang kini melekat pada kami, secara otomatis melibatkan keterbukaan dan penerimaan akan masa depan kami sebagai akibatnya.

Sebagai catatan, cinta bukan hanya masalah menerima dan terbuka dengan pasangan, namun pada saat yang berbarengan kami juga belajar untuk menerima dan terbuka dengan diri dan kondisi kami sendiri. Hal itu kami peroleh saat kami mau untuk tumbuh bersama. Sepintas, aku teringat dengan frase yang dulu cukup sering diucapkan alm. Bapak Nico Likumahua semasa aku kuliah, knowing yourself by knowning others. Dua sisi yang terjadi pada saat yang bersamaan.



#3 Cinta adalah keputusan dan komitmen
Hubungan cinta tidak akan terjadi tanpa adanya keputusan dari kedua belah pihak. Ketika akhirnya bersepakat, kami sadar akan adanya konsekuensi dari keputusan yang kami ambil tersebut. Sejak awal, kami berkomitemen untuk serius dan goal kami adalah pernikahan. Tentu saja kami tidak menjadi naif bahwa kemungkinan gagal itu tetap ada. 

Ndodog Lawang
Setelah setahun menjalin hubungan, bulan Januari 2013 keluarga kami bertemu. It was the proposal day. Sebuah pertemuan singkat yang memantapkan langkah kami untuk lanjut ke jenjang selanjutnya. Restu dan doa keluarga tentulah sangat berarti.

Tunangan
Sebulan berikutnya kami berdua mulai mempersiapkan beberapa hal untuk pertunangan, Februari 2013. Acara tersebut dilaksanakan juga di rumah orang tuaku. Diantar keluarga dan perwakilan rombongan gereja, calon tunanganku datang. Beberapa anggota keluarga besarku dan teman dekatku datang mendukung kebahagiaan kami. Ibadah pertunangan pun kami hayati, termasuk janji pertunangan kami ucapkan. Oya, mulai saat itu sebuah cincin bertuliskan nama pasangan kami melingkar resmi di jari manis tangan kiri kami. Cincin perlambang komitmen serta janji yang disaksikan di hadapan tamu yang hadir menjadi pengingat bagi kami akan keputusan yang kami ambil dan tanggung jawab yang menyertainya.

Katekisasi Pra Nikah
Ini adalah rangkaian proses pernikahan yang diisyaratkan gereja. Sebagai orang yang bersinggungan langsung dengan proses ini, calon suamiku tentu saja ingin melaluinya sesuai alur yang ada. Berdua kami bertemu, berdialog, dan mendapat pengajaran serta sharing pengalaman dari Pendeta senior kami. Dalam beberapa kali kelas privat tersebut kami diingatkan dan dibukakan berbagai hal tentang pernikahan baik dari sudut pandang teologi kristiani, finasial, seksualitas dan semacamnya. Terkhusus karena aku akan menikahi seorang pendeta, maka beliau tentu saja sangat mengetahui kehidupan seperti apa yang akan kami (terkhusus) aku bangun bersama. Pengajaran dan sharing pengalaman itu menjadi salah satu modal bagi kami untuk menghadapi dunia yang akan kami masuki bersama di sisa hidup kami selanjutnya.

Pendadaran
Sebagai tindak lanjut dari katekisasi pra nikah, sebuah pertemuan dengan beberapa anggota majelis dan orang tuaku diadakan. Karena kendala lokasi, calon ibu mertuaku tidak dapat ikut. Pertemuan ini adalah sebuah pemantapan akan niat kami untuk menikah. Di hadapan kedua orang tuaku, kami berdua ditanyai sekali lagi akan kesungguhan dan niat kami. Masih teringat jelas salah satu statement yang kudengar bahwa kelak aku tidak boleh menyesal dengan keputusanku sendiri jika ada hal-hal yang membuat gelo (kecewa). Toh ini adalah pilihan hidupku sendiri.

Itulah beberapa proses yang kami lalui bersama sebagai bagian dari persiapan pernikahan. Setelah pendadaran tersebut, keputusan kami dicantumkan dalam warta jemaat gereja.

Ya, keputusan dan komitmen yang kami buat berdua dan disaksikan oleh banyak pihak. Sebuah pengingat bagi kami berdua. Untuk sebuah keseriusan dan tanggung jawab. Itulah bagian dari makna cinta.
Keputusan dan komitmen itu terus kami usahakan dan pertahankan dengan mengingat akan Sang Pemberi Cinta yang kami yakini akan memampukan dan bisa kami andalkan untuk terus mengisi buli-buli minyak yang akan menjaga nyala cinta kami berdua.


Itulah tiga poin pelajaran cinta kami sebelum menikah. Tentu saja masih terus berlanjut hingga sekarang dan sampai seterusnya.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar