Rabu, 03 September 2014

20 to 21: 30 and 0

Rabu 20 Agustus 2014 dini hari, sebuah ucapan selamat ulang tahun kuterima dari suamiku. Ya, it was my birthday. Waktunya berucap selamat tinggal pada usia twenty something. Akhirnya kucapai juga anak tangga ke 30. 

Pagi itu kami habiskan waktu di rumah saja. Karena sudah cukup siang terbangun dari tempat tidur, maka hari itu kami absen jalan-jalan pagi. Suamiku mengerjakan beberapa hal di depan laptop. Aku sendiri banyak bersantai. Lalu kami sarapan dengan lontong buatan bulik. Begitulah kami menghabiskan waktu pagi itu.

Sekitar tengah hari aku mulai merasa kontraksi ringan di perut. Setelah beberapa lama kucermati, kontraksi itu berlangsung setiap lima menit dengan durasi sekitar satu menit. Kami mulai mengira-ira dan menduga apakah hari itu harinya. 

Siangnya ketika mandi kutemukan sedikit flek berwarna coklat agak kemerahan. Kuberitahukan kepada suamiku bahwa sepertinya kami perlu ke rumah sakit. Kami bersiap, namun perlu makan siang terlebih dahulu. 

Nasi, buntil daun singkong, tempe bacem sebagai lauk serta segelas jeruk hangat jadi menu pilihan kami siang itu. Porsi yang cukup besar itu habis juga meski di tengah-tengah makan tetap kurasa kontraksinya. 

Seperti pesan dokter beberapa hari sebelumnya, kami menuju IGD tapi akhirnya harus tetap mengantri di poli kandungan, seperti biasa. Dan kami menunggu di antara para ibu hamil dan pasien lain selama sekitar dua jam. Kebetulan ada dua anak kecil yang menunggui ibunya periksa; sedikit banyak aku mencoba mengajak ngobrol mereka. Kontraksi ringan terus kurasakan, dan suamiku rajin melihat jam untuk mengecek frekuensinya. Sore itu kontraksi terjadi setiap tujuh menit. 

130/90 adalah hasil pengukuran tensi darahku. Tinggi juga, pikirku. Tetapi suster mengatakan masih bagus. Begitu masuk ruang periksa, dokter memeriksa kandunganku lewat monitor USG. Kesimpulannya, kepala belum sepenuhnya turun, kemungkinan masih minggu depan. Oya? Aku membeberkan semua gejala dan kondisi yang kualami. Kesimpulannya sama. Sambil bercanda beliau mengatakan, "Anda masih bisa senyam-senyum gitu. Nanti kalau sudah tidak bisa senyum, sudah heboh, baru akan lahir." Susternya juga menambahkan, "Kalau fleknya sudah merah, mbak." Oh begitu ya. Ya sudahlah kalau begitu. Maka kamipun beranjak.

Perjalanan kami lanjutkan ke apotek untuk membeli susu ibu hamil, karena stok sudah habis. Lalu kami ke salah satu toko perlengkapan bayi yang menyediakan susu untuk booster ASI. Setelah itu kami mengambil pesanan nasi godhog di warung langganan kami. Selama perjalanan itu aku masih meringis beberapa kali menahan sakit kontraksi perut. Kusadari ada peningkatan kadar sakitnya.

Sekitar jam tujuh kami sampai di rumah. Beberapa saat kemudian adikku datang membawakan roti tart lengkap dengan lilinnya. Yay! I blew the candles! Thank you, bro! Cherry dan coklatnya kunikmati. Cocok, pikirku. Coklat kan memiliki efek menenangkan dan mengurangi rasa sakit. Lalu kami makan malam-masih dengan meringis menahan sakit.

Begitu adikku pulang, keringat dingin keluar dan aku bergegas menuju kamar mandi. Aku muntah, seperti orang masuk angin. Segera aku ganti baju dan berbaring, seperi yang disarankan suamiku. Dia menemaniku sambil menonton televisi. 

Ibuku menelepon menanyakan kondisiku. Aku menceritakan semuanya. Beliau berpesan supaya sabar dan kalau ada apa-apa untuk segera menghubungi beliau. Akupun mengiyakan. Telepon kututup. Tak beberapa lama, aku kembali muntah. Ada apa gerangan, pikirku. Selama hamil saja aku jarang sekali muntah.

Dan sepanjang malam itu aku habiskan di kasur dengan menahan sakit. Entah berapa kali aku ganti posisi, miring kanan, kiri, bergelung, nungging dan semacamnya. Kontraksinya kurasakan semakin kuat. Suamiku ikutan bingung. Maka akhirnya jam setengah dua belas kami menuju ke IGD setelah sebelumnya aku mengirim pesan singkat kepada dokter yang biasa memeriksaku.

Suamiku memarkir motor di depan IGD dan mengantarku ke dalam. Oleh petugasnya kami ditanya, "Sudah benar mau melahirkan?" Sambil menahan sakit kuceritakan kontraksi yang makin sakit. Aku naik tempat tidur, diperiksa tensi 150/90. Luar biasa tingginya. Dan setelah perawat memeriksa, aku sudah sampai pada pembukaan delapan. Amazing!

Aku diantar ke ruang bersalin dengan kursi roda. Suamiku pulang mengambil tas perlengkapan, menghubungi orang tuaku dan menyelesaikan administrasi ini dan itu. Akibatnya aku cukup lama sendiri tanpa teman, sementara para suster mempersiapkan ini dan itu. Aku mengaduh beberapa kali. Aku menanyakan keberadaan suamiku, dan suster menjawab, "Itu sedang menyelesaikan administrasi." Beberapa kali aku merintih sembari terus memohon kekuatan dari Tuhan Yesus.
Setelah beberapa saat, akhirnya ibukku masuk dan menemaniku hingga persalinan rampung. Ibu berdiri di samping tempat tidur dan menyemangatiku. Aku memegang erat tangannya. Sangat erat. Rasanya ayem mengetahui beliau ada di sana, dan di luar ada suami dan ayahku yang juga ikut menunggui.

Dan proses itupun berlangsung. Pembukaanku komplit. Ketuban dipecah dan aku diinstruksi untuk mengejan. Di sinilah aku merasa kesulitan. Mengejan tidak mulus. Tehnik yang kupelajari, kudengarkan tak bisa kupraktekkan dengan baik; aku menyadari kelemahan kinestetikku. Kaku dan sedikit banyak masih merasa risih dan sungkan. 

Awalnya posisiku lateral seperti yang kubaca dari beberapa sumber termasuk buku hypnobirthing yang kubeli. Setelah beberapa kali gagal mengejan dengan posisi ini akhirnya dokter memintaku telentang. Aku masih berusaha, meski sempat merasa down  akan keberhasilannya, apalagi merasa bahwa tenagaku sudah menipis, makan malamku juga sudah kukeluarkan dalam muntahan sebelumnya. Dokter, suster dan ibu terus menyemangatiku. Aku juga sempat melihat gunting yang dipengang oleh dokter. Wah, siap-siap dirobek ini. Namun ternyata tak terasa sayatannya. Yang kuingat, puncaknya, suster membantu mendorong perutku dari atas. Cukup terasa sakitnya. Namun beberapa saat kemudian aku melihat sebuah kepala mungil berbalut rambut yang tebal. 

Anakku sudah lahir.

Perasaan yang sulit untuk bisa digambarkan dengan jelas. Lega. Takjub. Beberapa detik kemudian kudengar tangisannya. She's alive. Thanks God! 

Bayiku dibersihkan dan diberi baju serta dihangatkan di bawah lampu. Ari-ari diserahkan kepada ibuku dan beliau keluar dan diminta untuk menunggu. Aku melanjutkan proses. Dijahit. Sakit tapi tidak terlalu sakit. Aku menunggu selesainya proses ini sembari tak henti memandangi bayi mungil di ujung sana. "Itu bayi saya, suster?" aku bertanya dan diiyakan. "Tebal sekali rambutnya," gumamku.

Begitu selesai, suster ganti membersihkanku dan akhirnya menempatkan bayi kecilku di sampingku. Aku masih terus takjub dengan makhluk cantik mungil di sisiku itu. Segera aku mencoba IMD. Dia juga merespon dengan baik, meski ASI yang keluar masih sangat sedikit dan sangat bening.

Sekitar dua jam aku di sana, menikmati bonding pertamaku dengan anak perempuanku. Sesekali kudengar calon ibu yang lain yang masih berjuang menunggu proses kelahiran. Lalu suamiku datang dan menemani. Kami menikmati waktu itu bersama dalam sukacita yang tak terkatakan. 

Asha Karita Syalom, nama itu kami berikan. Doa bagi putri kecil kami yang lahir 50 menit lewat tengah malam, Kamis, 21 Agustus 2014. Biarlah hidup dan pengharapannya selalu berada kasih dan damai sejahtera.

Keluar dari kamar bersalin menuju kamar aku sudah bisa berjalan sendiri, meski perlahan-lahan. Dan di sanalah kami bersama. Orang tuaku tampak bahagia, menyandang status baru sebagai kakek dan nenek. Sepanjang dini hari hingga pagi itu kami bersama, bercakap dan bersyukur.

Setiap hari selalu ada hal indah yang Tuhan berikan. Dan tak ada satu hari setelah hari ulang tahunku yang ke 30 aku diberi-Nya anugerah yang sangat indah, putri cantik yang masih terus membuatku takjub akan kuasa-Nya. Terima kasih Tuhan. Sungguh sebuah penantian yang sangat berharga.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar