Senin, 18 Agustus 2014

Ada Dunia Baru

Sebelum dan selepas bulan puasa dan Lebaran, ada cukup banyak pernikahan dilaksanakan. Setelah menikah, aku sudah cukup akrab dengan acara bidstond persiapan pernikahan mendampingi suamiku. Salah satu yang menarik untuk diceritakan adalah beberapa waktu yang lalu ketika dalam sebuah bidstond tersebut ada sepasang suami istri, kebetulan duduk di sebelahku, yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama setengah abad dan dalam acara itu berduet menyanyikan lagu favorit mereka. Nampaknya lagu tersebut cukup lawas, namun baru kali itu kami mendengarnya. Judulnya Ada Dunia Baru.

Ada dunia baru Negeri harapan
Kukan sampai disana Bila kau membimbingku
Kuharap kau selalu, Kau ada disampingku
Karna hanya kau berarti bagiku

 

Bagi setiap insan ada pasangannya
Dan sudah kuputuskan kaulah teman hidupku
Meski kujelajah dunia sampai akhir hayatku
Namun hanya kau berarti bagiku

 

Jalannya masih jauh dampingilah aku
Bila taufan menderu jadilah kau panduku

 

Melimpahnya harta apalah artinya
Mungkin besok hilang lagi dan aku tak peduli

 

Tapi bila hilang cintamu, patahlah semangatku
Karna hanya kau berarti bagiku
Karna hanya kau berarti bagiku



Lagu tersebut terngiang-ngiang di telinga suamiku. Maka sepulang dari sana, kubuka laptop dan mencari lirik serta videonya. Menarik juga mencermati bait demi bait lagu tersebut.

Lagu itu dibuka dengan sebuah keyakinan bahwa ada dunia baru yang akan dihadapi manusia, dunia yang merupakan sebuah pengharapan. Boleh dikata dunia baru itu adalah 'surga,' atau kehidupan sesudah mati. Sebuah hal yang banyak menjadi keyakinan manusia yang percaya bahwa hidup tidak hanya berakhir di dunia ini, namun ada hal lain setelah itu. Lalu hidup di dunia ini dinyatakan seperti layaknya sebuah perjalanan panjang menuju tempat pengharapan itu. Sang komposer menyatakannya dalam lirik, "Jalannya masih jauh dampingilah aku."  

Menurut penuturan penggubah, setiap manusia diciptakan berpasangan, "Bagi setiap insan ada pasangannya, Dan sudah kuputuskan kaulah teman hidupku." Di sini diisyaratkan bahwa menikah adalah sebuah keputusan yang diambil secara sadar. Menikah berarti menganggap pasangannya sebagai teman hidup. Teman hidup yang akan menemani selama perjalanan menuju dunia baru yang penuh pengharapan itu. Dan penulis menyadari bahwa dalam perjalanan itu ada banyak tantangan yang harus dihadapi, bisa dikatakan sebagai persoalan-persoalan hidup. Dalam lagu tersebut digambarkan dengan kata taufan. Secara bersamaan penulis juga mengharap pasangan, teman hidupnya untuk menjadi pandu dalam perjalanannya. Supaya apa? Supaya tetap kuat berjalan, tidak mudah tergoyahkan, tersesat, bahkan tumbang dalam menghadapi pencobaan. 

Dalam lagu tersebut juga ada penekanan akan apa yang dianggap penting dalam membangun rumah tangga, bukan harta dunia namun cinta. Cinta yang bukan sekedar cinta, tetapi yang bisa membangkitkan semangat hidup.

Menghayati lagu ini dengan menyaksikannya secara langsung dari saksi hidup yang sudah menjalaninya selama 50 tahun tentulah menjadi sangat bermakna. Mereka sudah merasakan apa yang namanya taufan itu dan mereka tetap setia bertahan, menjaga komitmen untuk menjadi teman seperjalanan yang paling dekat satu dengan yang lain. 

Dalam salah satu pembahasan Pendalaman Alkitab bersama yang kuikuti, jelaslah bahwa hidup ini memang sebuah perjalanan keselamatan menuju kesempurnaan. Keselamatan hidup yang sudah diberikan dan diterima tidak lalu terhenti. Ada perjalanan panjang yang masih harus ditempuh hingga nanti kesempurnaan keselamatan itu diterimakan, ketika kita memasuki dunia baru yang dijanjikanNya. Dan dalam perjalanannya kita tak sendiri, ada teman-teman seperjalanan yang sama-sama menuju ke sana, meskipun tetap ini adalah perjalanan secara individu. Arti penting dari memiliki teman seperjalanan sudah tidak dapat disangsikan lagi. Mereka bisa menjadi teman ngobrol, berbagi; menjadi sesama yang saling menajamkan dan menguatkan-asal kita tak menjadi lemah pada akhirnya.

Dan pasangan hidup, suami atau istri, adalah teman seperjalanan yang paling dekat. Tak kita tahu seutuhnya bagaimana dunia baru itu adanya, namun satu keyakinan bahwa itu ada. Siapapun pasangan kita saat ini dan bagaimanpun keadaannya nanti di dunia baru itu, sunggulah penting untuk menjadi teman seperjalanan, menjadi tim yang baik. Keputusan menikah tentulah diambil secara sadar lengkap dengan konsekuensi yang menyertainya. Dan tujuan menikah bukan hanya bagi kepentingan kita di dunia ini saja, namun seperti yang tersirat dan tersurat dalam lagu Ada Dunia Baru, untuk bersama-sama menuju sebuah dunia penuh pengharapan baru kelak.

Masih sedikit hal yang kami pelajari dalam setahun perjalanan kehidupan berdua ini. Namun cinta yang menyemangati itu perlu terus diusahakan, mengingat cinta adalah kerja, bukan keadaan. Keputusan yang sudah kami ambil dan deklarasikan memang harus terus dipertanggungjawabkan. Dan kami belajar untuk itu. Karena ketika berdua kami tentu ingin menjadi lebih baik daripada ketika sendiri. Pun kami menyadari bahwa lagu itu harus saling dinyanyikan, bukan hanya satu pihak saja.

Dan tentu saja, aku bersyukur untuk teman seperjalanan terdekatku yang Tuhan berikan dalam hidupku. Praise the Lord for He is Good All the Time.

Minggu, 17 Agustus 2014

While I'm Waiting for You

Anakku sayang,
Apa kabarmu hari ini? Masih nyamankah kau di dalam sana? Aku masih menikmati gerakan aktifmu meski sudah tak sekuat beberapa waktu yang lalu. Senangnya menyapamu, merasakan gerakanmu setiap kali kau bereaksi terhadap suara-suara atau sentuhan dari luar. 

Jumat lalu kita cek ke dokter dan beliau mengatakan kau mungkin akan lahir dalam seminggu ini. Kami bahagia. Bahwa kau sehat dan kuat di dalam sana. Bahwa kau telah siap menyapa dunia baru dalam beberapa hari ke depan, yang kami masih belum tahu kapan. Kami harus bersiap.

Sore itu kita sudah mendatangkan seorang fotografer, yang adalah Om-mu, untuk mengabadikan saat-saat menjelang kelahiranmu. Dalam 25 menit photo session itu kita, bersama ayahmu, sudah beraksi bersama. Bukan seperti maternity shots di luar sana, namun tetap saja itu luar biasa. Kelak kau bisa melihat hasilnya.

Beberapa kali ibukku, nenekmu, sudah menanyakan apakah aku sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan, apalagi ketika aku bercerita tentang pegal dan sakit yang terasa di paha dan kaki kananku sejak seminggu yang lalu. Kau tahu, nenekmu juga sedang hamil pada hari-hari seperti ini di bulan Agustus. Aku yang ada di dalam kandungannya, sebagai anak sulungnya. Maka ketika tadi malam, tanggal 16 Agustus, orang-orang menghayati tirakatan malam 17 Agustus, hari kemerdekaan bangsa Indonesia, aku sedikit banyak ikut menghayati proses yang dialami nenekmu ketika itu. Bukankah hal yang luar biasa juga bila kami sama-sama mengandung dan menanti kelahiran anak pertama kami di bulan Agustus? Sungguh special. Mungkin saja kau lahir hari ini, tanggal tujuh belas, seperti pengharapan ayahmu dan beberapa orang juga. Atau mungkin juga kau akan lahir beberapa hari lagi, berbarengan dangan tanggal lahirku. Bisa saja kan? Ya, tapi kembali lagi, Tuhan penciptamu lebih tahu kapan waktu yang baik dan tepat bagimu untuk meninggalkan rahimku dan memasuki dunia yang penuh warna ini.

Mengenai waktu yang baik dan tepat, kami berdoa supaya kau lahir ketika ayahmu sedang tidak bertugas. Minggu ini tetap menjadi minggu yang sibuk baginya. Ada rapat, rangkaian bidstond penganten, PA, serta pemberkatan dua pasang calon pengantin di akhir minggu. Kehadirannya dalam proses kelahiran sungguhlah akan sangat berarti bagi kita berdua. Namun, jikapun tidak, kita harus siap. Dalam doanya ayahmu senantiasa menyebut kita berdua, untuk siap dan kuat dalam menghadapi proses ini. Bahkan, nenekmu juga sudah menyatakan kesediaannya untuk menunggui kita. 

Anakku, sembari menantimu, aku sudah ngobrol dengan beberapa teman, bahkan dengan nenekmu mengenai bagaimana menghadapi persalinan, apalagi untuk yang pertama kalinya. Banyak hal yang masih samar-samar, masih belum tahu bagaimana dan seperti apa. Namun semuanya memberi semangat dan motivasi yang baik. Bahkan ketika aku bertanya kepada nenekmu apakah merasa grogi dan nervous ketika akan melahirkan, beliau menjawab, "Tidak. Tidak usah grogi. Itu kan hal yang biasa dialami sebagai wanita." Yah, ibumu ini memang masih sering grogi dalam menghadapi sesuatu yang  baru. Masih banyak bermain logika dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tapi syukur kepada Allah, Dia yang memberi, pastilah Dia yang akan memberi kekuatan. Amin.

Jadi anakku, kami akan tetap menantimu, mendoakanmu dan belajar menjadi sabar dan tenang. Jika Tuhan sudah mempersiapkanmu untuk hari kelahiranmu kelak, kapanpun itu, lahirlah dengan penuh semangat dan sukacita. Mari kita bekerja sama sebagai tim yang solid, sehingga proses kelahiranmu akan menjadi kesukaan bagiku, bagimu, bagi ayahmu, bagi keluarga besarmu dan semua orang yang menantimu. Sementara kau masih di dalam sana, nikmatilah waktumu, dan tetaplah bertumbuh dengan sehat.

Anakku, kami tahu bahwa kelahiranmu akan membawa banyak sekali perubahan dalam hidup kami. Namun, dengan penuh semangat dan sukacita kami menyatakan bahwa kau sangatlah dinantikan, kau sangat kami rindukan, dan kami menyayangimu. Kau adalah anugerah Tuhan yang sangat indah bagi kehidupan kami berdua.

Peluk sayang,
Ibumu.

Selasa, 12 Agustus 2014

The Invitation and the Souvenir

1. The Invitation 
Konsep dasar undangan pernikahan kami adalah konsep surat. Salah satu penyaluran dari idealismeku, termasuk salah satu ayat favoritku, bahwa kita adalah suratan yang terbuka.

Serat Ulem 1
Undangan ini untuk hari H pemberkatan dan peneguhan nikah di gereja. Warnanya merah dengan gambar sepasang wayang Kamajaya-Kamaratih di depan, foto kami berdua di sudut kiri dalam serta denah lokasi dan puisi karya calon mempelai lak-laki di bagian belakang.

Masih kuingat ketika kami sore itu browsing contoh undangan yang berbahasa Jawa di internet kemudian menyusun desainnya. Untuk undangan ini kami menggambarkan  konsep hasil diskusi di secarik kertas. Proses selanjutnya diambil alih oleh panitia di gereja.

Serat Ulem 2
Meski mengusung konsep yang sama, namun penampilannya cukup berbeda. Boleh dibilang ini adalah undangan yang cukup narsis, mengingat ada 4 foto kami yang terpampang di sana. Dan ini adalah masterpiece dari adikku. Dari awal memang aku meminta kesediaannya untuk membuatkan dan dia mengiyakan. How lucky I am!

Konsep awalnya kubuat secara sederhana di word, lalu di depan komputer, adikku mendesain dan aku duduk di sana memberi masukan, ide dan komentar.
 
Background depan dan belakang berwarna dasar putih. Di halaman depan ada satu foto yang dimodifikasi seolah-olah sebagai perangko dengan stempel, “we’re getting married.” Di pojok kiri atas tertulis Serat Ulem dan di bawahnya tanggal pelaksanaan acara di rumah orang tuaku. 

Halaman dua dan tiga berkonsep seperti undangan pada umumnya, tentang identitas kami berdua beserta orang tua, tanggal pelaksanaan pemberkatan dan peneguhan pernikahan, serta tanggal pelaksanaan acara di rumah.  All are in Javanese. Dua foto kami yang diambil dengan setelan kebaya dan beskap. Nuansa hijau, hitam dan merah mendominasi halaman ini.

Halaman belakang berisi denah menuju lokasi yang diadaptasi adikku dari Google Map. Foto kami dipajang di sisi kiri dan kanan seolah sebagai bingkainya. Di bagian bawah aku menyisipkan kutipan dari Mother Teresa, “It’s not how much we do, but how much love we put in the doing. It's not how much we give but how much love we put into giving.” Selain belajar menghayati makna yang terkandung di dalam kalimat itu, sebuah unsur kesengajaan juga aku tambahkan. Unsur bahasa Inggris. Tidak menyangka sebelumnya bahwa undangan nikahku akan berbahasa Jawa. But, it was great!  
Proses desain adalah proses yang panjang dan berat. Aku tahu kerja keras adikku untuk membuatnya. Terima kasih untuk karya yang excellent, bro!

2. The Souvenir
PENSIL itu pilihan kami. Kami sama-sama menyukainya. Suamiku ternyata juga lebih suka menulis dengan pensil dibanding dengan pena. Sebenarnya kami menginginkan bentuk pensil yang segitiga seperti salah satu souvenir hotel yang kami jadikan referensi, namun kami mendapati hanya yang bulat. 

Yang tertera di sana nama, lokasi dan tanggal. Sebagai tambahan ucapan terima kasih, kutipan yang  lain dari Bunda Teresa kami sertakan, “Seumpama sebatang pensil di tangan Tuhan yang menuliskan surat cinta-Nya kepada dunia, demikianlah adanya kita.” Kutambahkan satu kalimat, “Bahagiaku menarikan bait-bait cinta itu bersamamu, kekasihku.”

Untuk souvenir yang di gereja, konsepnya juga sama namun kemasannya yang berbeda. Pensil itu terbungkus dalam kotak warna merah yang elegan. Nama kami berdua tercantum jelas di sana.

Ponsa Souvenir
Setelah survey beberapa kali di beberapa lokasi dengan beberapa keterbatasan yang ada, akhirnya kami memutuskan untuk memilih Ponsa sebagai tempat kami memesan souvenir dan mencetakkan undangan. Lokasi yang cukup dekat dan pemiliknya yang ramah menjadi alasannya. Aku mendapatkan nomor telpon dari souvenir yang kudapat dari reuni dengan teman-teman SMU.

Sang pemilik, Mbak Flo, yang ketika itu tengah hamil besar melayani permintaan kami, termasuk mencarikan pensil seperti yang kami inginkan. Menurut penuturannya, ini kali pertama membuat seperti yang kami minta. Meski hasil pensilnya tidak semulus contoh, kami tetap menyukainya.

Proses penyelesaiannya juga melalui tatap muka langsung dan juga melalui internet. Beberapa kali kami ke sana untuk mengecek dan mengambil pesanan. Dan di H-1 Mbak Flo dan salah satu teman prajabku datang ke rumah mengantar kekurangan souvenir sekaligus memberi souvenir dan hadiah bagi kami. Putranya juga sudah lahir beberapa waktu sebelumnya.

Jadi kesimpulannya masih sama, it was a great teamwork. Banyak pribadi yang terlibat dan menolong kami, termasuk mewujudkan idealisme dan ide-ide kami. Thanks all!

Minggu, 10 Agustus 2014

The Sunny Pre Wedding Shots





Salah satu moment yang tak terlupakan dalam rangkaian persiapan pernikahan kami adalah pre wedding shots. Dulu aku punya impian juga ingin merasakan bagaimana serunya pre-wedding shots itu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, beberapa tahun sebelumnya-sebelum bertemu dengan calon suami, aku sudah mencari-cari foto-foto pre wedding di internet dan menyimpannya di laptop. And dream came true. Praise the Lord!



Awalnya kami hendak meminta tolong adikku untuk menjadi fotografernya, toh dia sudah tahu angles andalan kami. Kami berdua juga sudah mereka-reka kira-kira mau befoto konsep yang seperti apa, di mana, bagaimana kostum, properti dan sebagainya. Namun tidak semuanya terwujud seperti harapan. Beberapa hal menjadi kendala untuk bisa mewujudkan semua seperti harapan. Meski demikian momen itu sungguh luar biasa.



Setelah dua jam menyelesaikan tugas mengajar hari itu, aku meminta ijin kepada kepala sekolah untuk meninggalkan kantor. Diantar calon suami, aku menuju salah satu salon yang direkomendasikan Pak Andre, fotografer gereja yang juga akan menjadi fotografer kami hari itu. Sementara aku dirias, tunanganku pulang mempersiapkan tugasnya hari itu dan mengambil kostum.



Kostum yang kami pakai ada tiga macam. Kostumku: kebaya merah dan rok jarik yang merupakan salah satu seserahan di hari pertunangan kami, kebaya jadul hitam motif bunga besar yang kami dapatkan di pasaraya beserta rok jarik putih milik ibu, kebaya putih lengan pendek dan rok klok panjang berwarna hijau yang sudah aku punya. Kostum tunanganku: beskap hitam komplit, surjan dan setelan jas. Semua properti pribadi yang sudah dipunyainya. Sempat kami mencoba mencari kostum, terutama gaun, namun mempertimbangkan waktu yang belum bisa fix, kami tidak jadi mengambil opsi tersebut. Sedangkan untuk properti tambahan ada buket bunga plastik hijau putih yang kupinjam dari Bu Tatik serta payung merah milik Bapak Patmaya.



Setelah selesai kami memakai kostum yang pertama dan waktu sudah lewat dari jam sepuluh. Kami bersegera ke lokasi. Untuk menuju lokasi, kami ditolong oleh Bapak dan Ibu Patmaya yang dengan sukarela menyediakan transportasi bagi kami. Lokasi yang kami pilih adalah Gedung MTC milik sinode GKMI yang berlokasi di dekat Gedung Bina Darma di Bugel. Tempat ini hasil rekomendasi adikku yang sebelumnya sudah pernah menggunakannya untuk kegiatan LDK bersama murid-muridnya. Beberapa waktu sebelumnya, kami berdua datang ke lokasi yang masih dalam tahap penyelesaian itu dan mengutarakan maksud kami. Pengurusnya, Mas Tomi, menyambut dengan tangan terbuka dan mempersilahkan kami untuk memakainya. Lokasi yang cukup dekat, dengan beberapa sudut yang menarik membuat kami mantap untuk memakainya. Lagipula tempat ini belum terlalu banyak terekspos, jadi lebih seru dibandingkan tempat-tempat lain di dalam kota kecil ini.



Tanpa menunda, kami langsung melaksanakan misi sesampainya di sana. Oh, it wasn’t easy. Kami tak terbiasa difoto resmi begitu dan disaksikan orang lain. Apalagi kami bukan model. Jadi banyak pose yang diulang-monoton, banyak pose yang kaku dan malu-malu. Tapi kami berusaha menikmatinya. Beberapa kali Pak Andre, Pak Maya dan Ibu meminta kami untuk santai dan tidak usah malu-malu beraksi. Tapi tetap saja kami masih banyak malu-malunya.



Kami mengakhiri sesi foto hari itu saat matahari makin terik bersinar. Bisa kami lihat usaha keras Pak Andre, termasuk cucuran keringat di wajahnya. Kamipun beristirahat di bangsal terbuka yang luas dan nyaman sambil menikmati semilir angin yang mengurai kepanasan siang itu. Konsumsi telah tersedia berkat tangan cekatan adik bungsuku yang kuminta membantu. Kamipun bersantap siang sambil bercakap-cakap.  Akhirnya kami berkemas, kembali ke salon untuk mengembalikan beberapa barang dan pulang.



What a day! Kami bersyukur dengan apa yang boleh kami nikmati. Sungguh suatu anugerah. Banyak pribadi yang menolong kami mewujudkan impian ini. We are so thankful. Hasilnya tercetak di undangan (akan menjadi cerita di posting yang lain), dua figura besar dan dua MMT; mungkin juga di MTC karena kami mengirimkannya juga sesuai permintaan Mas Tomi. Dan sampai sekarang aku masih suka membuka file dan melihat-lihat hasil jepretan Pak Andre tersebut. Tersenyum dan sekali lagi, tak henti bersyukur, untuk kisah dan kasih yang teranyam dalam perjalanan cinta dan hidup kami. Thank you, Lord! You are awesome.