Senin, 09 November 2020

Mematik Kesadaran untuk Mengenalkan Perpustakaan

 

Tak kenal maka tak sayang adalah sebuah pepatah lama yang sangat relevan untuk membahas keberadaan perpustakaan. Gagasan sederhana yang kadang terlupa. Kita akan menyukai sesuatu yang kita kenal, demikian juga dengan perpustakaan. Konsep ini pula yang akan terjadi pada generasi muda. Pertanyaannya, siapa yang perlu mengenalkan perpustakaan? Tidak bisa tidak, sebuah usaha sadar perlu diambil untuk mengenalkan perpustakaan kepada anak-anak.

Aku masih ingat keberadaan perpustakaan sekolah kala aku masih di bangku SD sekitar seperempat abad yang lalu. Perpustakaan itu terwujud dalam sebuah lemari kayu coklat besar dengan pintu geser kaca. Pada setiap bagian raknya, ada deretan buku-buku yang mayoritas tidak terlalu tebal. Lemari besar itu ditempatkan dalam ruangan yang sama dengan kantor guru. Jam istirahat menjadi saat bagi kami untuk menikmati bacaan di sana. Satu buku bergambar yang masih lekat dalam ingatanku adalah buku tentang aneka festival dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Jepang, festival boneka, Hinamatsuri. Masih tergambar jelas, dalam setelan putih merah itu aku suka sekali memilih dan meminjam buku-bukunya. Arti perpustakaan juga ditambahkan oleh kedua orang tuaku yang kadangkala meminjamkanku buku-buku dari perpustakaan sekolah dimana beliau dulu mengajar.

Perpustakaan yang lebih besar kukenal di bangku SMP dan SMA. Ruangannya lebih besar dan tidak digabung dengan ruangan-ruangan lain. Buku-buku dijejer secara vertikal sesuai kategorinya. Waktukku tidak terlalu banyak kuhabiskan di sana, mengingat beban belajar dan buku pelajaran yang cukup menyita perhatian. Terlebih, pada saat itu tidak terlalu banyak teman yang suka berkunjung ke perpustakaan. Jenis bacaan yang menjadi tren kala itu adalah komik. Cukup banyak persewaan buku yang hadir di sekitar sekolah di kota kecil ini. Sebagian teman lebih memilih untuk meminjam komik-komik dan novel-novel populer di sana. Buku-buku masa SMP dan SMA yang kuingat sebagian karena dipinjami oleh beberapa teman dari ki koleksi pribadi mereka. Dari sinilah aku mulai mengenal salah satu penulis top Indonesia, Dewi Lestari, yang hingga kini karya-karyanya menjadi koleksi di perpustakaan keluargaku.

Perpustakaan daerah juga mulai kukenal dan kukunjungi beberapa kali. Kala itu, secara fisik, bangunan dan tata ruangnya tidak terlalu menarik, meskipun sudah cukup banyak variasi koleksi buku yang tersedia. Seingatku, setiap kali berkunjung suasananya cenderung sepi, tidak terlalu banyak aktivitas terjadi. Ini jauh berbeda dengan kondisi sekarang.

Aku menghabiskan waktu cukup banyak di perpustakaan pada masa kuliah. Salah satu faktor pendukungnya adalah karena perpustakaan di kampusku, Universitas Kristen Satya Wacana, menjadi salah satu rujukan di daerahku. Mengunjungi perpustakaan menjadi salah satu pilihan untuk memanfaatkan waktu jeda antar kelas. Ruangan-ruangan besar yang disediakan di sana membuatku mendefinisikan perpustakaan sebagai sebuah surga. Surga untuk menikmati petualangan solo menjelajahi lembaran-lembaran kisah. Surga untuk mencari inspirasi dan menjalin relasi. Salah satu hobiku adalah menyalin kutipan-kutipan dalam buku-buku yang kubaca.

Ketakjubanku pada ribuan buku-buku yang berderet rapi dalam ruang sirkulasi kian bertambah manakala aku mengambil tugas imbalan kerja di perpustakaan. Pertama, aku makin sering memegang beraneka jenis buku secara langsung. Kedua, aku ikut mengamati bagaimana para mahasiswa meminjam dan mengembalikan buku-buku tersebut. Ketiga, aku menikmati saat-saat untuk mengembalikan dan mengatur buku-buku di rak-rak yang ada. Tidak ada dokumentasi saat itu, namun kilasan sudut-sudut ruangan, deretan rak-rak yang penuh dengan buku dan lembaran-lembarannya, serta aktivitas di dalamnya masih tergambar dengan jelas. Bahkan, terkadang ruangan dan suasana perpustakaan itu sesekali hadir dalam mimpiku. Dari sinilah, baik secara sadar atau tidak, mimpiku untuk memiliki perpustakaan sendiri mulai muncul.

Arti penting perpustakaan semakin kuat kurasakan saat aku sudah bekerja. Sekolah sebagai kantorku, tentu saja memiliki ruang, bahkan gedung perpustakaan yang acapkali disebut sebagai jantung sekolah. Perpustakaan bukan sekedar kumpulan buku-buku dalam ruangan saja. Sebagai seorang guru, aku belajar lebih jauh bahwa perpustakaan juga tentang administrasi, tentang program kerja, tentang pelayanan dan yang pasti tentang berbagai hal lain yang menyertai. Perpustakaan bagiku kini bukan hanya sebatas apa yang ada dalam ruangan yang dilabel sebagai ruang perpustakaan. Perpustaakaan adalah semangat untuk belajar dan berelasi dengan dunia.

Sebuah usaha sadar yang kulakukan untuk ambil bagian dalam menyebarluaskan semangat tentang perpustakaan adalah keputusanku untuk mengikuti seleksi duta baca yang dibuka untuk umum oleh Dinas Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah tahun 2018. Dengan segala keterbatasan aku nekat mendaftar dengan menyertakan berkas-berkas sesuai petunjuk yang diminta. Jujur saja, label duta baca mematik rasa ingin tahuku lebih jauh, terlebih melihat Tantowi Yahya, Andi F. Noya atau Najwa Shihab yang didaulat menyandang gelar itu di tingkat Nasional. Sebuah pertanyaan mucul di benakku. Jika orang-orang besar seperti mereka bisa berkontribusi untuk membumikan perpustakaan, buku dan minat baca, apakah aku juga bisa ambil bagian?

Dari 40-an peserta yang mendaftar, aku dinyatakan masuk sepuluh besar. Sebuah kejutan di ulang tahunku, yang membawaku untuk berkunjung ke perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Dan yang terjadi di sana adalah sebuah perjumpaan menyaksikan pengalaman dari teman-teman hebat yang sangat peduli dengan perkembangan dunia literasi di daerah masing-masing. Sebagian besar dari mereka berusia lebih muda daripada aku, namun decak kagum dan penghargaan layak diberikan kepada mereka atas visi dan dedikasinya.

Meskipun aku tidak berada pada posisi tiga besar dalam seleksi itu, apa yang kudapatkan jauh melebihi dari sekadar selempang dan trophy. Seperti pesan yang disampaikan pihak penyelenggara, kami harus terus menyebarluaskan giat literasi dan mengembangkan minat baca di manapun kami berada. Dan ini tentu saja tak bisa dipisahkan dari semangat dan keberadaan perpustakaan. Dari sana aku terus berupaya untuk ambil bagian dalam kegiatan yang berkaitan dengan penumbuhan minat baca dan pengenalan perpustakaan.

Pada bulan Maret 2019 aku diudang untuk ikut hadir dalam FGD (Focus Group Discussion) Kepustakawanan yang diselenggarakan oleh Dina Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga. Kembali dalam kesempatan itu aku dipertemukan dengan pribadi-pribdai luar biasa.  Baik karena tugas maupun karena motivasi pribadi, mereka mendedikasikan diri untuk kemajuan literasi, secara khusus di kota Salatiga. Mereka antara lain datang dari instansi pendidikan, pustakawan dan komunitas TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Turut hadir pula salah satu pegiat literasi yang juga seorang pelukis istimewa dari Salatiga, Bapak Sabar Subandi. FGD itu juga sebagai sebuah proses dalam penyusunan Raperda yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Perpustakaan di kota Salatiga. Pertanyaan yang sama kembali melintas, jadi apa yang bisa kulakukan?

Secara pribadi, aku memanfaatkan platform media sosial yang kumiliki salah satunya untuk menyebarkan semangat literasi. Melalui unggahan tentang buku, pembiasaan membaca bagi keluarga maupun siswa, pembacaan puisi, dan sarana berbagi informasi seputar literasi. Media sosial memang penuh dengan tantangan dan warna, tapi aku memilih untuk tetap ada di sana, mencoba memberi warna di tengah segala hiruk pikuknya. Aku juga mengikuti orang-orang yang menginspirasi dalam dunia literasi, termasuk Najwa Shihab dan Nila Tanzil. Namun tak kalah juga, teman-teman seperjuangan, para ibu yang memiliki semangat sama untuk menumbuhkan literasi bagi keluarga dan lingkungannya. Kami laksana sebuah komunitas virtual yang ada karena jalinan semangat literasi. Ada motivasi dan semangat yang saling ditularkan dalam unggahan maupun percakapan yang terjadi di baliknya.

Dalam lingkup sekolah, aku turut ambil bagian dalam menyukseskan Gerakan Literasi Sekolah dengan melakukan sosialisai kepada rekan kerja, mendampingi anak-anak dalam gerakan membaca sebelum pelajaran serta menggagas kegiatan membaca massal. Di samping itu, aku juga turut serta mencipta pojok bahasa Inggris dalam perpustakaan di sekolah yang didukung oleh Univeristas Kristen Satya Wacana, English Reading Foundation dan Indonesia Extensive Reading Association. Kami berusaha mepromosikan kegiatan membaca untuk kesenangan (Reading for Pleasure), sebagai bagian dari membaca secara extensive yang dinilai sebagai pematik minat baca yang efektif.

Sebagai bagian dari komunitas, aku juga berusaha mengenalkan perpustakaan pada lingkup yang lebih luas. Berawal dari unggahan di media sosial Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga yang menampilkan acara kunjungan anak-anak, baik dari sekolah maupun komunitas keagamaan. Aku mengusulkan kepada pengelola kegiatan anak di gereja kami untuk mengadakan kunjungan ke sana. Ide ini syukurnya disambut baik. Setelah berkomunikasi dengan pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga, kami melakukan kunjungan tersebut, beberapa saat sebelum layanan ditutup karena pandemi yang terjadi.

Hari Minggu pagi awal bulan Maret itu, sekitar 40 anak dengan rentang usia dari balita hingga usia SMP berbondong-bondong menuju gedung perpustakaan yang memiliki arsitektur unik di kota ini. Orang tua dan guru-guru pendamping juga sangat antusias mendampingi. Kami disambut dengan baik oleh pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga. Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah mengikuti tur perpustakaan. Kami dikenalkan dengan lingkungan dan ruangan-ruangan yang ada di sana. Kemudian kami diberikan informasi tentang kegiatan yang bisa dan biasa dilakukan di sana. Rak-rak buku yang tertata rapi serta poster-poster yang berkaitan dengan literasi yang mengelilingi kami memberikan suasanya yang berbeda dan mengesankan. Setelah itu, anak-anak diajak untuk menuju ruang khusus yang berisi koleksi buku-buku anak dan beberapa mainan edukatif. Sungguh pemandangan yang sangat berharga melihat anak-anak berkomunikasi dengan sebayanya atau orang tua dengan media buku sebagai sarananya. Beberapa juga belajar berbagi dan bersosialisasi melalui mainan edukatif yang disediakan. Acara yang tak kalah serunya adalah manakala kami diajak menonton film dengan layar yang sangat besar di sebuah ruangan yang sedang tahap penyelesaian untuk dijadikan sebagai bioskop mini. Dua film pendek yang ditampilkan menampilkan cerita yang dekat dengan anak. Setelah itu diskusi sederhana yang dibangun oleh moderator dari pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga menjadikan pesan film itu terekam baik dalam ingatan kami.

Anak-anak terlihat sangat menikmati semua rangkaian kegiatan ini hingga akhir. Demikian juga dengan orang tua dan guru pendamping. Beberapa dari mereka bahkan akhirnya membuat kartu keanggotaan baru dan langsung meminjam buku. Sebagian mengakui bahwa ini adalah kali pertama mereka mengunjungi perpustakaan daerah. Sebuah akhir yang membahagiakan, apalagi beberapa mengungkapkan kesan baiknya secara verbal.

Kenangan itu juga terus tertanam dalam ingatan anakku yang kini berusia enam tahun. Beberapa kali dia menuturkan ulang kilasan cerita yang dilaluinya ketika berkunjung ke perpustakaan bersama teman-temannya itu. Memori ini menambah koleksi pengalamannya mengunjungi perpustakaan. Sejak dini aku dan suami berusaha mengajaknya ke sana. Beberapa kali kami menghabiskan waktu di ruang khusus koleksi anak. Kadangkala kami juga mengajaknya untuk mengikuti kegiatan yang dilakukan di luar gedung perpustakaan seperti bazar buku dan pameran hobi (community gathering). Kami ingin dia menemukan bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan di perpustakaan.

Merefleksi perjalananku secara pribadi, sebenarnya anak-anak dengan sendirinya akan mengenal perpustakaan, apalagi jika mereka memasuki lembaga pendidikan formal. Selain itu, mereka mungkin akan menemui perpustakaan di kantor kelurahan dan lembaga-lembaga lain.  Meskipun demikian, mengenalkan perpustakaan adalah tugas dan tanggung jawab kita sebagai pribadi yang sudah terlebih dahulu mengenalnya. Pengenalan perpustakaan dengan usur kesengajaan pasti akan memberi efek yang berbeda, apalagi kita sebagai orang terdekat yang memperkenalkannya. Inilah sebuah kesadaran yang perlu terus dibangun. Setiap kita adalah agen perubahan yang memiliki kapasitas untuk menanamkan benih-benih baik. Kesadaran pribadi yang berlanjut pada kesadaran komunitas dimana kita berada. Karena itu, mari kita agendakan waktu untuk mengunjungi perpustakaan. Mari kita menjalin relasi dengan perpustakaan dan memetik hal-hal baik yang bisa terjadi di dalamnya.

Senin, 28 September 2020

Berbagi dan Bertualang Bersama Let's Read

Membaca bagiku adalah sebuah petualangan, sebuah perjalanan. Dan perjalanan itu kian menyenangkan ketika bertemu dengan teman-teman seperjalanan. Pertemuan itu membawa sukacita tersendiri. Selalu saja ada hal yang bisa dibagi, ada hal yang bisa memperkaya makna perjalanan itu sendiri. Pertemuanku dengan Let’s Read juga menjadi bagian kisah perjalanan membaca yang terlalu berharga untuk tidak dibagikan.


Let's Read dan Anakku

Sejak awal, aku berkomitmen untuk mengenalkan buku kepada anakku. Di usianya yang kini menginjak enam tahun, aura kecintaannya pada buku sudah terlihat. Meskipun belum lancar membaca kata atau kalimat, tapi dia sudah bisa membaca buku dengan caranya sendiri. Media sosial menjadi platform yang cukup banyak memberi informasi tentang aneka buku bacaan yang bisa jadi pilihan, baik dari penerbit, toko buku online, maupun teman-teman yang sebagian juga sekaligus adalah seorang ibu. Yang terakhir ini justru paling mengena, women supporting women.

 

Dari berbagai pilihan buku bacaan yang sudah kudapatkan, ada satu hal yang masih mengganjal. Aku cukup kesulitan untuk menemukan buku bacaaan anak yang menggunakan bahasa Jawa. Bagaimanapun juga, aku fikir bahasa daerah harus tetap kukenalkan kepada anakku.

 

Suatu kali ketika sedang membuka aplikasi Instagram, sebuah foto di story melintas dan menarik perhatianku. Percakapan singkat terjadi diantara kami kemudian. Bulan Juni itulah awal mula aku berkenalan dengan Let’s Read. Temanku yang juga memiliki putri kecil yang hampir seumuran dengan anakku itulah yang memberi titik terang akan bahan bacaan anak dengan berbagai bahasa, termasuk bahasa Jawa.

 


Setelah mengunduh aplikasi tersebut, langsung saja kulihat bersama Asha, anakku. Dia tertarik dengan ilustrasi-ilustrasi yang mendukung setiap cerita. Sungguh menggembirakan menemukan puluhan cerita yang bisa diakses dengan mudah. Setelah itu, bacaan di Let’s Read menjadi salah satu pilihan favorit Asha untuk mengisi waktu baca kami (reading time) sebelum tidur. Sejauh ini memang aku konsisten membacakan cerita dengan versi bahasa Jawa. Setidaknya, dia belajar dari ‘suara.’ Aku yakin dia akan memahaminya. Dengan lirih, dia akan berbisik, “Setunggal malih,”sebagai kode bagiku untuk membacakan satu cerita lagi.

 


Dari sekian banyak cerita, salah satu yang paling kami sukai bersama adalah Ngenteni Apa, Mas? Karya B. E. Priyanti. Sebuah cerita yang sangat khas bagi masyarakat Indonesia, tentang menanti kehadiran sang bapak yang sedang diundang kenduri. Nasi berkat yang dibawa pulang juga terasa dekat dengan apa yang pernah dialaminya, (yang kualami juga). Terlebih lagi, telur adalah salah satu makanan kesukaan Asha. Sungguh kisah ini sangat lekat dalam ingatannya. Tak jarang, Asha akan meminta ijin untuk membuka aplikasi Let’s Read dan melihat-lihat cerita yang ada. Dari situ pula dia akan memilih dua cerita yang akan dijadikan bahan untuk kubacakan malam harinya.

 

Setelah merasakan manfaat dari Let’s Read, sesekali aku membagikannya di status WhatsApp atau secara spontan terselip diantara percakapan dengan teman yang mencari bahan bacaan. Kembali lagi ke konsep awal yang kupegang, bahwa membaca ibarat sebuah petualangan, perjalanan. Sungguh akan lebih menyenangkan kalau dinikmati bersama teman-teman seperjalanan.


Perkenalanku dengan Let's Read semakin dalam ketika aku mengikuti Sedaring Relawan Literasi NTB dengan tema Bergerak Mengisi Kemerdekaan. Acara yang diadakan pada tanggal 17 Agustus 2020 ini memberi gambaran yang makin jelas akan visi dan misi dari Let's Read. Akupun makin bersemangat membagikannya.

 

Let's Read dan Murid-muridku

Kemudahan akses, kearifan lokal Asia, variasi bahasa yang ada, ilustrasi yang menarik menjadi salah satu alasan kuatku untuk menggunakan Let’s Read sebagai salah satu referensi dalam kegiatan ekstra kurikuler English Reading Club (ERC) yang mulai berjalan secara daring sejak bulan Agustus kemarin. Salah satu tujuan ekstra kurikuler ini adalah membangun kecintaan siswa pada budaya membaca, secara khusus dalam bahasa Inggris. Perpustakaan sekolah kami memiliki koleksi buku-buku bacaan  berbahasa Inggris. Meskipun demikian, pada masa pandemi ini tentu dibutuhkan sumber bacaan yang berbeda, bacaan yang aksesnya lebih luas. Di sinilah Let’s Read menjadi titik terang. Aplikasi ini laksana perpustakaan digital yang maha kaya.

 


Para peserta ekstra kurikuler diminta untuk menginstal aplikasi Let’s Read sebagai salah satu bahan bacaan mingguan. Mereka kemudian akan memilih salah satu cerita untuk dilaporkan dalam jurnal membaca mingguan. Bagi peserta  yang mengalami kendala dalam menginstal aplikasi, mereka diarahkan untuk menuju ke situs www.letsreadasia.org.

 

Setelah beberapa minggu, para peserta mengungkapkan bahwa Let’s Read menjadi aplikasi yang bermanfaat bagi mereka, terkhusus dalam belajar bahasa Inggris dan membangun kesukaan membaca mereka.

 



Mereka adalah teman-teman seperjalanan dalam petualangan membacaku. Ini sungguh sebuah kebahagiaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Kesukaan membaca bukan hal yang serta merta diwarisi sejak lahir. Ada usaha untuk menumbuhkan benih dan merawat pertumbuhannya. Usaha ini pasti akan lebih ringan, lebih maksimal jika dikerjakan bersama-sama.

 

Unduh dan Nikmati Petualangan bersama Let's Read 

Perjalanan dan petualangan ini belum berakhir. Dan petualangan ini akan semakin menyenangkan ketika kita melewatinya bersama. Unduhlah Let's Read dan mari berpetualang bersama. Let’s Read siap menemani kita untuk bertemu dengan semakin banyak kawan di sepanjang perjalanan. 

 

 #LetsReadAsia #AyoMembaca #LetsReadxBloggerPerempuan


Senin, 23 September 2019

Membangun Budaya Baca Keluarga




Giat literasi di Indonesia semakin terasa setelah pemerintah mencanangkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan mengimplementasikannya di sekolah dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan ini bermula dari keprihatinan akan rendahnya kemampuan literasi siswa Indonesia yang tercermin dalam beberapa hasil tes berstandar internasional. Dengan gerakan ini diharapkan pada akhirnya dapat mendongkrak kemampuan literasi siswa secara khusus, maupun masyarakat Indonesia secara umum.
Masyarakat yang memiliki tingkat literasi yang baik tentunya akan menjadi kunci penentu kualitas bangsa. Dalam era globalisasi ini, banyak tantangan yang harus dihadapi. Yang paling nyata, pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi perlu diimbangi dengan kecakapan mengolah informasi. Salah satu jalan untuk mengasah kecakapan tersebut adalah melalui kegiatan literasi, terkhusus keterampilan membaca.
Gerakan LIterasi Nasional (GLN) akan menjadi timpang ketika hanya pemerintah dan sekolah yang bertindak. Kunci utama keberhasilan GLN sebenarnya terletak pada keluarga. Keluarga dapat berkontribusi dengan membangun budaya baca. Beberapa langkah berikut dapat dijadikan acuan untuk mewujudkannya.

1.  Menjadi pribadi yang gemar membaca

Banyak tokoh besar yang tumbuh dengan kebiasaan membaca, sebut saja (alm) Presiden Abdurraham Wahid,  (alm) Presiden B.J. Habibie, serta Wakil Presiden Jusuf Kala. Tak ketinggalan, nama-nama seperti Dian Sastrowardoyo, Maudy Ayunda, Andi F. Noya dan Najwa Shihab juga menjadi tokoh terdepan dalam hal kecintaan membaca. Banyak alasan mengapa mereka gemar membaca, salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Dewi Lestari, penulis serial best seller Supernova, “Membaca adalah guru terbaik dalam hidupku, karena dengan membaca aku mengerti banyak hal dan dengan membaca aku mampu melihat sisi lain dari dunia ini.”

Kesadaran akan pentingnya membaca pasti ditanamkan dalam keluarga sebagai lingkungan pertama yang ditemui anak. Oleh karena itu, sebagai orang tua hendaknya kita mematutkan diri menjadi seorang pribadi yang gemar membaca. Mau tidak mau kita akan menajadi teladan bagi anak-anak atau orang-orang di sekeliling kita, termasuk menjadi teladan dalam membaca. Jika Andi F. Noya dan Najwa Shihab didaulat menjadi duta baca nasional, maka kitapun sebenarnya juga memperoleh mandat yang tak kalah penting, yaitu menjadi duta baca bagi keluarga kita.
Pertanyaannya, apakah kita mau berkomitmen untuk menjadi pribadi yang gemar membaca?

2.  Jadikan buku sebagai investasi

Tak berlebihan rasanya jika Walt Disney, tokoh yang banyak berperan dalam cerita anak, mengatakan “Ada lebih banyak harta di dalam buku daripada yang didapat perampok dari Pulau Harta.” Berbicara tentang buku sebenarnya berbicara tentang sebuah investasi, karena dalam buku terkandung informasi maupun nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi bekal bagi pembaca dalam menghadapi kehidupan.
Salah satu tokoh pendidikan dari Inggris, Charlotte Mason, secara khusus mendorong orang tua untuk memilihkan buku-buku yang bermutu bagi anak-anak. Mason memperkenalkan konsep living books untuk menyebut buku-buku berkualitas yang menyimpan nilai-nilai moral yang dirancang oleh penulisnya. Buku-buku karangan Beatrix Potter, Hans Christian Andersen, Lucy M. Montgomery, C. S. Lewis, Charles Dickens, Mark Twain dan Lewis Carroll termasuk dalam deretan pustaka yang disarankan oleh Mason. Buku-buku tersebut memiliki kapasitas untuk menggugah potensi, termasuk moral dan karakter anak.
Dengan perkembangan teknologi yang ada, kita bisa memilih buku dalam versi cetak maupun elektronik. Kita juga bisa memperoleh referensi tentang isi buku dari resensi yang dibagi tidak hanya di media cetak, namun melalui kanal-kanal media sosial yang terhubung dalam dunia maya. Kita juga mendapat kemudahan membeli untuk buku melalui toko buku online maupun offline.
Pertanyaannya adalah apakah kita mau mengagihkan sebagian keuangan kita untuk membeli buku-buku yang berkualitas bagi keluarga?

3.  Ciptakan perpustakaan keluarga


Ketika mulai berkomiten membangun keluarga, ruang perpustakaan menjadi salah satu impian yang akan kami wujudkan bersama. Bisa ditebak (atau dibaca dalam beberapa unggahan sebelumnya) bahwa buku memiliki peran yang istimewa dalam kisah kasih keluarga kami. Dan kini, perpustakaan itu telah mulai terwujud dan  menjadi salah satu tempat favorit kami. Ungkapan Desiderius Erasmus, “Your library is your paradise” menjadi salah satu hal yang kami yakini. Rupa-rupanya berada diantara kumpulan buku-buku dapat mencipta ketenangan dan kesukaan tersendiri, layaknya kita berada di ‘surga’. Hal ini juga yang diungkapkan oleh J. K. Rowling melalui tokoh ciptaannya yang gemar membaca, Hermione yang mengatakan kalau kita sedang ragu kita bisa mengunjungi perpustakaan. Perasaan ini tentu saja bukan muncul secara tiba-tiba.
Kecintaan dan kelekatan terhadap buku perlu dibiasakan, perlu diusahakan. Menciptakan perpustakaan adalah salah satu upaya untuk membentuk budaya itu. Perpustakaan keluarga bisa diawali dengan sebuah rak kecil berisi koleksi buku-buku yang diatur sedemikian rupa sampai dengan sebuah ruang yang memang khusus diciptakan untuk perpustakaan.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita mau menempatkan perpustakaan sebagai salah satu prioritas dalam rumah kita?

4.  Kunjungi perpustakaan

Keterbatasan bahan bacaan sekarang bukan menjadi persoalan. Kita dapat mengajak anggota keluarga, terkhusus anak-anak, untuk mengunjungi perpustakaan. Jika perpustakaan sekolah dibatasi waktu, kita masih memiliki pilihan lain. Perpustakaan daerah sekarang berkembang pesat. Bukan hanya buku-buku saja yang disediakan. Untuk anak-anak, disediakan pula berbagi alat permainan edukatif (APE). Selain itu, perpustakaan juga memfasilitasi berbagai kegiatan menarik, seperti pemutaran film keluarga, lomba-lomba terkait literasi, pameran dan bazaar. Selain perpustakaan daerah, kini telah bermunculan pula berbagai taman bacaan masyarakat (TBM) baik yang dikelola oleh perorangan, rumah ibadah, maupun komunitas.
Pembiasaan mengunjungi perpustakaan selain sebagai bentuk waktu berkualitas bersama (quality time), sekaligus akan menciptakan kesan bahwa buku dapat menjadi sarana untuk bertemu dengan komunitas yang lebih luas. Tak menutup kemungkinan bahwa perpustakaan dapat menjadi tempat ‘nongkrong’ yang mengasyikkan. Peran perpustakaan tak perlu lagi kita ragukan. Sidney Sheldon secara apik mengatakan bahwa perpustakaan membuka jendela ke dunia dan menginspirasi kita untuk mengeksplorasi dan mencapai, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup kita
Dengan melihat potensi yang ada, pertanyaannya adalah apakah kita bersedia mengagendakan waktu untuk mengunjungi perpustakaan itu bersama keluarga?

5.  Membicarakan buku


Komunikasi adalah hal yang sangat vital dalam membangun budaya membaca dalam keluarga. Membicarakan buku dapat diawali dengan membacakan buku bagi anak-anak. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku (Gernas Baku) pada tahun 2018. Gerakan ini adalah salah satu upaya untuk meningkatkan peran serta orang tua dalam membangun budaya literasi keluarga, terkhusus bagi anak-anak usia dini yang belum bisa membaca.


Masih terekam dalam ingatan bagaimana ibu kerap kali membacakan buku atau mendongeng sebelum saya tertidur. Hal itu menjadi momen yang sangat mengesankan dan menginspirasi saya untuk melanjutkan warisan literasi keluarga ini kepada anak saya. Hampir setiap malam, membaca buku adalah ritual yang mengatarkannya tidur menuju peraduan.
Buku juga berpotesi untuk menjadi bahan disukusi antara oran tua dan anak. Bill Gates bahkan mengatakan bahwa salah satu hal yang dibiasakan oleh orang tuanya adalah melibatkannya dalam diskusi-diskusi bersama. Salah satu topik yang dibahas adalah tentang buku. Dengan pengalaman yang masih terbatas, saya sendiri terkadang merasa takjub akan berbagai hal yang bisa dibicarakan ketika kami membuka buku bersama.
Jadi pertanyaannya, maukah kita menjadikan buku sebagai salah satu topik pembicaraan kita dalam keluarga?

Membangun budaya membaca memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita membutuhkan usaha, komitmen dan konsistensi yang perlu terus dijaga nyalanya. Dan sebagai pribadi, orang tua, bagian dari keluarga, kita sungguh berperan penting di dalamnya. GLS akan menjadi timpang ketika keluarga tidak memberikan dukungan. Dengan sinergi dari semua pihak, gerakan literasi akan menjadi sukses. Dengan mematutkan diri menjadi seorang pribadi yang gemar membaca, menjadikan buku sebagai investasi, membangun perpustakaan keluarga, mengunjungi perpustakaan serta membicarakan buku, kita berjibaku untuk mewujudkan keluarga yang literat, berbudaya baca. Pada akhirnya keluarga-keluarga Indonesia, bersama-sama, memercikkan asa untuk mewujudkan generasi masa depan yang berkualitas.
Selamat merenungkan dan menjawab pertanyaan yang terlontar. Selamat terus melangkah. Selamat membangun keluarga yang berbudaya baca. Selamat mencipta pemimpin yang gemar membaca. Salam Literasi.

 #SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga

Bacaan lanjutan tentang living books:
Kristi, Ellen. (2016) Cinta yang Berpikir Sebuah Manual Pendidikan Karakter Charlotte Mason. Semarang: Ein Institute.

Link quote tokoh:
http://tiny.cc/a9tdaz (Bill Gates)
http://tiny.cc/o6tdaz (Dewi Lestari)
http://tiny.cc/d8tdaz (Desiderius Erasmus)
http://tiny.cc/uxt8cz (J.K. Rowling) 
http://tiny.cc/kaudaz (Sidney Sheldon)

http://tiny.cc/zbudaz (Walt Disney)


Rabu, 01 Oktober 2014

Maternity Shot

Ada kebahagiaan tersendiri ketika kita bisa mewujukan mimpi atau harapan menjadi kenyataan dalam hidup. Salah satu keinginanku selama hamil adalah maternity shot, foto prenatal. And we made it. Yeah, WE, karena mimpi itu kerap kali tak bisa diwujudkan sendiri, kita butuh orang lain yang merelakan diri untuk berbagi waktu, tenaga, bahkan mimpinya sendiri untuk mewujudnyatakan mimpi orang lain.

Keinginan ini menurutku tidak termasuk dalam kategori ngidam, karena pada dasarnya kegiatan berfoto sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sekarang ini, termasuk diriku sendiri, to be specific. Keinginan itu secara logis didukung juga dengan keberadaan adikku yang punya kamera dan, yang lebih penting, punya kesediaan untuk menjadikan kami, orang-orang terdekatnya, sebagai model bidikan kamera. Terlebih, kami sempat berencana untuk melakukan pre wedding photo shot, namun ketika itu belum terlaksana karena satu dan lain hal. Dan yang pasti suamiku tak keberatan dengan ide itu. 

Selama hamil aku mengabadikan kejadian-kejadian unik, menarik, bahkan mungkin yang terlihat biasa-biasa saja melalui kamera ponsel. Pada event tertentu, adikku membantuku mengumpulkan gambar-gambar itu melalui lensa kameranya. Pada saat-saat seperti itulah ada kesempatan bagiku untuk bisa berpose dengan suamiku. Namun, seringkali kami berdua bergantian mengambil gambar, jadi kebanyakan dalam foto-foto tersebut aku tidak didampingi suamiku. Aku juga sempat mengumpulkan foto-foto itu dan menyusunnya menjadi semacan diary secara kronologis, namun karena kesibukan aku belum berhasil menyelesaikannya.

Salah satu photo shot yang cukup mengesankan adalah ketika aku memakai kostum Snow White yang dulunya dibuat dan dipakai untuk lomba story telling muridku. Ketika itu kami berdua, muridku dan aku, pernah ngobrol dan intinya suatu saat aku harus memakai kostum itu juga dan mengabadikannya dalam foto. Dan pada suatu sore yang longgar, adikku membantuku mewujudnyatakan harapan itu. Dan kembali, itu sesi foto sendiri; Snow White sendiri tanpa kehadiran pangerannya-suamiku sedang pergi. Hasilnya cukup menyenangkan, kuberi narasi bahwa itu adalah lanjutan cerita Snow White setelah bertemu dengan pangeran dan kemudian menikah dan sedang menantikan kelahiran anak mereka. That's just a story I made up \^^/

Hari Jumat pagi itu kami periksa ke dokter kandungan untuk kesekian kalinya dan dokter mengatakan jika bayi dalam kandunganku akan lahir dalam jangka waktu satu minggu. Dan ide itu melintas di benakku, it is the time.

Aku menghubungi adikku sepulang dari RSU. Dengan senang hari kudapatkan kesediaannya untuk mampir sore ini ke rumah. Dan siang itu, sembari menunggu, aku browsing maternity shots lewat layar netbookku.

Dan begitulah sore itu, karena padatnya jadwal, selama sekitar 25 menit kami bertiga larut dalam 'pemotretan.' Beberapa frame terinspirasi dari foto-foto yang dilihat di internet. Namun yang namanya canggung ataupun mati gaya tetaplah ada; namanya juga bukan foto model.
Dua puluh lima menit itu menjadi salah satu best moments dalam masa kehamilanku. Bukan seberapa banyak atau seberapa bagus foto yang dihasilkan yang membuatku terkesan dan terkenang. Lebih dari itu. Ada kasih yang dibagi di sana. Kasih yang diberikan oleh suami dan adikku yang membuat impianku menjadi nyata.

Terima kasih Tuhan, sudah mengirimkan orang-orang yang mau berbagi denganku, mewujudkan mimpi dan menambah-nambahkan sukacitaku. Terima kasih untuk moment yang membahagiakan itu.

A picture is worth a thousand words. \^^/

Rabu, 03 September 2014

20 to 21: 30 and 0

Rabu 20 Agustus 2014 dini hari, sebuah ucapan selamat ulang tahun kuterima dari suamiku. Ya, it was my birthday. Waktunya berucap selamat tinggal pada usia twenty something. Akhirnya kucapai juga anak tangga ke 30. 

Pagi itu kami habiskan waktu di rumah saja. Karena sudah cukup siang terbangun dari tempat tidur, maka hari itu kami absen jalan-jalan pagi. Suamiku mengerjakan beberapa hal di depan laptop. Aku sendiri banyak bersantai. Lalu kami sarapan dengan lontong buatan bulik. Begitulah kami menghabiskan waktu pagi itu.

Sekitar tengah hari aku mulai merasa kontraksi ringan di perut. Setelah beberapa lama kucermati, kontraksi itu berlangsung setiap lima menit dengan durasi sekitar satu menit. Kami mulai mengira-ira dan menduga apakah hari itu harinya. 

Siangnya ketika mandi kutemukan sedikit flek berwarna coklat agak kemerahan. Kuberitahukan kepada suamiku bahwa sepertinya kami perlu ke rumah sakit. Kami bersiap, namun perlu makan siang terlebih dahulu. 

Nasi, buntil daun singkong, tempe bacem sebagai lauk serta segelas jeruk hangat jadi menu pilihan kami siang itu. Porsi yang cukup besar itu habis juga meski di tengah-tengah makan tetap kurasa kontraksinya. 

Seperti pesan dokter beberapa hari sebelumnya, kami menuju IGD tapi akhirnya harus tetap mengantri di poli kandungan, seperti biasa. Dan kami menunggu di antara para ibu hamil dan pasien lain selama sekitar dua jam. Kebetulan ada dua anak kecil yang menunggui ibunya periksa; sedikit banyak aku mencoba mengajak ngobrol mereka. Kontraksi ringan terus kurasakan, dan suamiku rajin melihat jam untuk mengecek frekuensinya. Sore itu kontraksi terjadi setiap tujuh menit. 

130/90 adalah hasil pengukuran tensi darahku. Tinggi juga, pikirku. Tetapi suster mengatakan masih bagus. Begitu masuk ruang periksa, dokter memeriksa kandunganku lewat monitor USG. Kesimpulannya, kepala belum sepenuhnya turun, kemungkinan masih minggu depan. Oya? Aku membeberkan semua gejala dan kondisi yang kualami. Kesimpulannya sama. Sambil bercanda beliau mengatakan, "Anda masih bisa senyam-senyum gitu. Nanti kalau sudah tidak bisa senyum, sudah heboh, baru akan lahir." Susternya juga menambahkan, "Kalau fleknya sudah merah, mbak." Oh begitu ya. Ya sudahlah kalau begitu. Maka kamipun beranjak.

Perjalanan kami lanjutkan ke apotek untuk membeli susu ibu hamil, karena stok sudah habis. Lalu kami ke salah satu toko perlengkapan bayi yang menyediakan susu untuk booster ASI. Setelah itu kami mengambil pesanan nasi godhog di warung langganan kami. Selama perjalanan itu aku masih meringis beberapa kali menahan sakit kontraksi perut. Kusadari ada peningkatan kadar sakitnya.

Sekitar jam tujuh kami sampai di rumah. Beberapa saat kemudian adikku datang membawakan roti tart lengkap dengan lilinnya. Yay! I blew the candles! Thank you, bro! Cherry dan coklatnya kunikmati. Cocok, pikirku. Coklat kan memiliki efek menenangkan dan mengurangi rasa sakit. Lalu kami makan malam-masih dengan meringis menahan sakit.

Begitu adikku pulang, keringat dingin keluar dan aku bergegas menuju kamar mandi. Aku muntah, seperti orang masuk angin. Segera aku ganti baju dan berbaring, seperi yang disarankan suamiku. Dia menemaniku sambil menonton televisi. 

Ibuku menelepon menanyakan kondisiku. Aku menceritakan semuanya. Beliau berpesan supaya sabar dan kalau ada apa-apa untuk segera menghubungi beliau. Akupun mengiyakan. Telepon kututup. Tak beberapa lama, aku kembali muntah. Ada apa gerangan, pikirku. Selama hamil saja aku jarang sekali muntah.

Dan sepanjang malam itu aku habiskan di kasur dengan menahan sakit. Entah berapa kali aku ganti posisi, miring kanan, kiri, bergelung, nungging dan semacamnya. Kontraksinya kurasakan semakin kuat. Suamiku ikutan bingung. Maka akhirnya jam setengah dua belas kami menuju ke IGD setelah sebelumnya aku mengirim pesan singkat kepada dokter yang biasa memeriksaku.

Suamiku memarkir motor di depan IGD dan mengantarku ke dalam. Oleh petugasnya kami ditanya, "Sudah benar mau melahirkan?" Sambil menahan sakit kuceritakan kontraksi yang makin sakit. Aku naik tempat tidur, diperiksa tensi 150/90. Luar biasa tingginya. Dan setelah perawat memeriksa, aku sudah sampai pada pembukaan delapan. Amazing!

Aku diantar ke ruang bersalin dengan kursi roda. Suamiku pulang mengambil tas perlengkapan, menghubungi orang tuaku dan menyelesaikan administrasi ini dan itu. Akibatnya aku cukup lama sendiri tanpa teman, sementara para suster mempersiapkan ini dan itu. Aku mengaduh beberapa kali. Aku menanyakan keberadaan suamiku, dan suster menjawab, "Itu sedang menyelesaikan administrasi." Beberapa kali aku merintih sembari terus memohon kekuatan dari Tuhan Yesus.
Setelah beberapa saat, akhirnya ibukku masuk dan menemaniku hingga persalinan rampung. Ibu berdiri di samping tempat tidur dan menyemangatiku. Aku memegang erat tangannya. Sangat erat. Rasanya ayem mengetahui beliau ada di sana, dan di luar ada suami dan ayahku yang juga ikut menunggui.

Dan proses itupun berlangsung. Pembukaanku komplit. Ketuban dipecah dan aku diinstruksi untuk mengejan. Di sinilah aku merasa kesulitan. Mengejan tidak mulus. Tehnik yang kupelajari, kudengarkan tak bisa kupraktekkan dengan baik; aku menyadari kelemahan kinestetikku. Kaku dan sedikit banyak masih merasa risih dan sungkan. 

Awalnya posisiku lateral seperti yang kubaca dari beberapa sumber termasuk buku hypnobirthing yang kubeli. Setelah beberapa kali gagal mengejan dengan posisi ini akhirnya dokter memintaku telentang. Aku masih berusaha, meski sempat merasa down  akan keberhasilannya, apalagi merasa bahwa tenagaku sudah menipis, makan malamku juga sudah kukeluarkan dalam muntahan sebelumnya. Dokter, suster dan ibu terus menyemangatiku. Aku juga sempat melihat gunting yang dipengang oleh dokter. Wah, siap-siap dirobek ini. Namun ternyata tak terasa sayatannya. Yang kuingat, puncaknya, suster membantu mendorong perutku dari atas. Cukup terasa sakitnya. Namun beberapa saat kemudian aku melihat sebuah kepala mungil berbalut rambut yang tebal. 

Anakku sudah lahir.

Perasaan yang sulit untuk bisa digambarkan dengan jelas. Lega. Takjub. Beberapa detik kemudian kudengar tangisannya. She's alive. Thanks God! 

Bayiku dibersihkan dan diberi baju serta dihangatkan di bawah lampu. Ari-ari diserahkan kepada ibuku dan beliau keluar dan diminta untuk menunggu. Aku melanjutkan proses. Dijahit. Sakit tapi tidak terlalu sakit. Aku menunggu selesainya proses ini sembari tak henti memandangi bayi mungil di ujung sana. "Itu bayi saya, suster?" aku bertanya dan diiyakan. "Tebal sekali rambutnya," gumamku.

Begitu selesai, suster ganti membersihkanku dan akhirnya menempatkan bayi kecilku di sampingku. Aku masih terus takjub dengan makhluk cantik mungil di sisiku itu. Segera aku mencoba IMD. Dia juga merespon dengan baik, meski ASI yang keluar masih sangat sedikit dan sangat bening.

Sekitar dua jam aku di sana, menikmati bonding pertamaku dengan anak perempuanku. Sesekali kudengar calon ibu yang lain yang masih berjuang menunggu proses kelahiran. Lalu suamiku datang dan menemani. Kami menikmati waktu itu bersama dalam sukacita yang tak terkatakan. 

Asha Karita Syalom, nama itu kami berikan. Doa bagi putri kecil kami yang lahir 50 menit lewat tengah malam, Kamis, 21 Agustus 2014. Biarlah hidup dan pengharapannya selalu berada kasih dan damai sejahtera.

Keluar dari kamar bersalin menuju kamar aku sudah bisa berjalan sendiri, meski perlahan-lahan. Dan di sanalah kami bersama. Orang tuaku tampak bahagia, menyandang status baru sebagai kakek dan nenek. Sepanjang dini hari hingga pagi itu kami bersama, bercakap dan bersyukur.

Setiap hari selalu ada hal indah yang Tuhan berikan. Dan tak ada satu hari setelah hari ulang tahunku yang ke 30 aku diberi-Nya anugerah yang sangat indah, putri cantik yang masih terus membuatku takjub akan kuasa-Nya. Terima kasih Tuhan. Sungguh sebuah penantian yang sangat berharga.

Senin, 18 Agustus 2014

Ada Dunia Baru

Sebelum dan selepas bulan puasa dan Lebaran, ada cukup banyak pernikahan dilaksanakan. Setelah menikah, aku sudah cukup akrab dengan acara bidstond persiapan pernikahan mendampingi suamiku. Salah satu yang menarik untuk diceritakan adalah beberapa waktu yang lalu ketika dalam sebuah bidstond tersebut ada sepasang suami istri, kebetulan duduk di sebelahku, yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama setengah abad dan dalam acara itu berduet menyanyikan lagu favorit mereka. Nampaknya lagu tersebut cukup lawas, namun baru kali itu kami mendengarnya. Judulnya Ada Dunia Baru.

Ada dunia baru Negeri harapan
Kukan sampai disana Bila kau membimbingku
Kuharap kau selalu, Kau ada disampingku
Karna hanya kau berarti bagiku

 

Bagi setiap insan ada pasangannya
Dan sudah kuputuskan kaulah teman hidupku
Meski kujelajah dunia sampai akhir hayatku
Namun hanya kau berarti bagiku

 

Jalannya masih jauh dampingilah aku
Bila taufan menderu jadilah kau panduku

 

Melimpahnya harta apalah artinya
Mungkin besok hilang lagi dan aku tak peduli

 

Tapi bila hilang cintamu, patahlah semangatku
Karna hanya kau berarti bagiku
Karna hanya kau berarti bagiku



Lagu tersebut terngiang-ngiang di telinga suamiku. Maka sepulang dari sana, kubuka laptop dan mencari lirik serta videonya. Menarik juga mencermati bait demi bait lagu tersebut.

Lagu itu dibuka dengan sebuah keyakinan bahwa ada dunia baru yang akan dihadapi manusia, dunia yang merupakan sebuah pengharapan. Boleh dikata dunia baru itu adalah 'surga,' atau kehidupan sesudah mati. Sebuah hal yang banyak menjadi keyakinan manusia yang percaya bahwa hidup tidak hanya berakhir di dunia ini, namun ada hal lain setelah itu. Lalu hidup di dunia ini dinyatakan seperti layaknya sebuah perjalanan panjang menuju tempat pengharapan itu. Sang komposer menyatakannya dalam lirik, "Jalannya masih jauh dampingilah aku."  

Menurut penuturan penggubah, setiap manusia diciptakan berpasangan, "Bagi setiap insan ada pasangannya, Dan sudah kuputuskan kaulah teman hidupku." Di sini diisyaratkan bahwa menikah adalah sebuah keputusan yang diambil secara sadar. Menikah berarti menganggap pasangannya sebagai teman hidup. Teman hidup yang akan menemani selama perjalanan menuju dunia baru yang penuh pengharapan itu. Dan penulis menyadari bahwa dalam perjalanan itu ada banyak tantangan yang harus dihadapi, bisa dikatakan sebagai persoalan-persoalan hidup. Dalam lagu tersebut digambarkan dengan kata taufan. Secara bersamaan penulis juga mengharap pasangan, teman hidupnya untuk menjadi pandu dalam perjalanannya. Supaya apa? Supaya tetap kuat berjalan, tidak mudah tergoyahkan, tersesat, bahkan tumbang dalam menghadapi pencobaan. 

Dalam lagu tersebut juga ada penekanan akan apa yang dianggap penting dalam membangun rumah tangga, bukan harta dunia namun cinta. Cinta yang bukan sekedar cinta, tetapi yang bisa membangkitkan semangat hidup.

Menghayati lagu ini dengan menyaksikannya secara langsung dari saksi hidup yang sudah menjalaninya selama 50 tahun tentulah menjadi sangat bermakna. Mereka sudah merasakan apa yang namanya taufan itu dan mereka tetap setia bertahan, menjaga komitmen untuk menjadi teman seperjalanan yang paling dekat satu dengan yang lain. 

Dalam salah satu pembahasan Pendalaman Alkitab bersama yang kuikuti, jelaslah bahwa hidup ini memang sebuah perjalanan keselamatan menuju kesempurnaan. Keselamatan hidup yang sudah diberikan dan diterima tidak lalu terhenti. Ada perjalanan panjang yang masih harus ditempuh hingga nanti kesempurnaan keselamatan itu diterimakan, ketika kita memasuki dunia baru yang dijanjikanNya. Dan dalam perjalanannya kita tak sendiri, ada teman-teman seperjalanan yang sama-sama menuju ke sana, meskipun tetap ini adalah perjalanan secara individu. Arti penting dari memiliki teman seperjalanan sudah tidak dapat disangsikan lagi. Mereka bisa menjadi teman ngobrol, berbagi; menjadi sesama yang saling menajamkan dan menguatkan-asal kita tak menjadi lemah pada akhirnya.

Dan pasangan hidup, suami atau istri, adalah teman seperjalanan yang paling dekat. Tak kita tahu seutuhnya bagaimana dunia baru itu adanya, namun satu keyakinan bahwa itu ada. Siapapun pasangan kita saat ini dan bagaimanpun keadaannya nanti di dunia baru itu, sunggulah penting untuk menjadi teman seperjalanan, menjadi tim yang baik. Keputusan menikah tentulah diambil secara sadar lengkap dengan konsekuensi yang menyertainya. Dan tujuan menikah bukan hanya bagi kepentingan kita di dunia ini saja, namun seperti yang tersirat dan tersurat dalam lagu Ada Dunia Baru, untuk bersama-sama menuju sebuah dunia penuh pengharapan baru kelak.

Masih sedikit hal yang kami pelajari dalam setahun perjalanan kehidupan berdua ini. Namun cinta yang menyemangati itu perlu terus diusahakan, mengingat cinta adalah kerja, bukan keadaan. Keputusan yang sudah kami ambil dan deklarasikan memang harus terus dipertanggungjawabkan. Dan kami belajar untuk itu. Karena ketika berdua kami tentu ingin menjadi lebih baik daripada ketika sendiri. Pun kami menyadari bahwa lagu itu harus saling dinyanyikan, bukan hanya satu pihak saja.

Dan tentu saja, aku bersyukur untuk teman seperjalanan terdekatku yang Tuhan berikan dalam hidupku. Praise the Lord for He is Good All the Time.

Minggu, 17 Agustus 2014

While I'm Waiting for You

Anakku sayang,
Apa kabarmu hari ini? Masih nyamankah kau di dalam sana? Aku masih menikmati gerakan aktifmu meski sudah tak sekuat beberapa waktu yang lalu. Senangnya menyapamu, merasakan gerakanmu setiap kali kau bereaksi terhadap suara-suara atau sentuhan dari luar. 

Jumat lalu kita cek ke dokter dan beliau mengatakan kau mungkin akan lahir dalam seminggu ini. Kami bahagia. Bahwa kau sehat dan kuat di dalam sana. Bahwa kau telah siap menyapa dunia baru dalam beberapa hari ke depan, yang kami masih belum tahu kapan. Kami harus bersiap.

Sore itu kita sudah mendatangkan seorang fotografer, yang adalah Om-mu, untuk mengabadikan saat-saat menjelang kelahiranmu. Dalam 25 menit photo session itu kita, bersama ayahmu, sudah beraksi bersama. Bukan seperti maternity shots di luar sana, namun tetap saja itu luar biasa. Kelak kau bisa melihat hasilnya.

Beberapa kali ibukku, nenekmu, sudah menanyakan apakah aku sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan, apalagi ketika aku bercerita tentang pegal dan sakit yang terasa di paha dan kaki kananku sejak seminggu yang lalu. Kau tahu, nenekmu juga sedang hamil pada hari-hari seperti ini di bulan Agustus. Aku yang ada di dalam kandungannya, sebagai anak sulungnya. Maka ketika tadi malam, tanggal 16 Agustus, orang-orang menghayati tirakatan malam 17 Agustus, hari kemerdekaan bangsa Indonesia, aku sedikit banyak ikut menghayati proses yang dialami nenekmu ketika itu. Bukankah hal yang luar biasa juga bila kami sama-sama mengandung dan menanti kelahiran anak pertama kami di bulan Agustus? Sungguh special. Mungkin saja kau lahir hari ini, tanggal tujuh belas, seperti pengharapan ayahmu dan beberapa orang juga. Atau mungkin juga kau akan lahir beberapa hari lagi, berbarengan dangan tanggal lahirku. Bisa saja kan? Ya, tapi kembali lagi, Tuhan penciptamu lebih tahu kapan waktu yang baik dan tepat bagimu untuk meninggalkan rahimku dan memasuki dunia yang penuh warna ini.

Mengenai waktu yang baik dan tepat, kami berdoa supaya kau lahir ketika ayahmu sedang tidak bertugas. Minggu ini tetap menjadi minggu yang sibuk baginya. Ada rapat, rangkaian bidstond penganten, PA, serta pemberkatan dua pasang calon pengantin di akhir minggu. Kehadirannya dalam proses kelahiran sungguhlah akan sangat berarti bagi kita berdua. Namun, jikapun tidak, kita harus siap. Dalam doanya ayahmu senantiasa menyebut kita berdua, untuk siap dan kuat dalam menghadapi proses ini. Bahkan, nenekmu juga sudah menyatakan kesediaannya untuk menunggui kita. 

Anakku, sembari menantimu, aku sudah ngobrol dengan beberapa teman, bahkan dengan nenekmu mengenai bagaimana menghadapi persalinan, apalagi untuk yang pertama kalinya. Banyak hal yang masih samar-samar, masih belum tahu bagaimana dan seperti apa. Namun semuanya memberi semangat dan motivasi yang baik. Bahkan ketika aku bertanya kepada nenekmu apakah merasa grogi dan nervous ketika akan melahirkan, beliau menjawab, "Tidak. Tidak usah grogi. Itu kan hal yang biasa dialami sebagai wanita." Yah, ibumu ini memang masih sering grogi dalam menghadapi sesuatu yang  baru. Masih banyak bermain logika dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tapi syukur kepada Allah, Dia yang memberi, pastilah Dia yang akan memberi kekuatan. Amin.

Jadi anakku, kami akan tetap menantimu, mendoakanmu dan belajar menjadi sabar dan tenang. Jika Tuhan sudah mempersiapkanmu untuk hari kelahiranmu kelak, kapanpun itu, lahirlah dengan penuh semangat dan sukacita. Mari kita bekerja sama sebagai tim yang solid, sehingga proses kelahiranmu akan menjadi kesukaan bagiku, bagimu, bagi ayahmu, bagi keluarga besarmu dan semua orang yang menantimu. Sementara kau masih di dalam sana, nikmatilah waktumu, dan tetaplah bertumbuh dengan sehat.

Anakku, kami tahu bahwa kelahiranmu akan membawa banyak sekali perubahan dalam hidup kami. Namun, dengan penuh semangat dan sukacita kami menyatakan bahwa kau sangatlah dinantikan, kau sangat kami rindukan, dan kami menyayangimu. Kau adalah anugerah Tuhan yang sangat indah bagi kehidupan kami berdua.

Peluk sayang,
Ibumu.