Rabu, 01 Oktober 2014

Maternity Shot

Ada kebahagiaan tersendiri ketika kita bisa mewujukan mimpi atau harapan menjadi kenyataan dalam hidup. Salah satu keinginanku selama hamil adalah maternity shot, foto prenatal. And we made it. Yeah, WE, karena mimpi itu kerap kali tak bisa diwujudkan sendiri, kita butuh orang lain yang merelakan diri untuk berbagi waktu, tenaga, bahkan mimpinya sendiri untuk mewujudnyatakan mimpi orang lain.

Keinginan ini menurutku tidak termasuk dalam kategori ngidam, karena pada dasarnya kegiatan berfoto sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sekarang ini, termasuk diriku sendiri, to be specific. Keinginan itu secara logis didukung juga dengan keberadaan adikku yang punya kamera dan, yang lebih penting, punya kesediaan untuk menjadikan kami, orang-orang terdekatnya, sebagai model bidikan kamera. Terlebih, kami sempat berencana untuk melakukan pre wedding photo shot, namun ketika itu belum terlaksana karena satu dan lain hal. Dan yang pasti suamiku tak keberatan dengan ide itu. 

Selama hamil aku mengabadikan kejadian-kejadian unik, menarik, bahkan mungkin yang terlihat biasa-biasa saja melalui kamera ponsel. Pada event tertentu, adikku membantuku mengumpulkan gambar-gambar itu melalui lensa kameranya. Pada saat-saat seperti itulah ada kesempatan bagiku untuk bisa berpose dengan suamiku. Namun, seringkali kami berdua bergantian mengambil gambar, jadi kebanyakan dalam foto-foto tersebut aku tidak didampingi suamiku. Aku juga sempat mengumpulkan foto-foto itu dan menyusunnya menjadi semacan diary secara kronologis, namun karena kesibukan aku belum berhasil menyelesaikannya.

Salah satu photo shot yang cukup mengesankan adalah ketika aku memakai kostum Snow White yang dulunya dibuat dan dipakai untuk lomba story telling muridku. Ketika itu kami berdua, muridku dan aku, pernah ngobrol dan intinya suatu saat aku harus memakai kostum itu juga dan mengabadikannya dalam foto. Dan pada suatu sore yang longgar, adikku membantuku mewujudnyatakan harapan itu. Dan kembali, itu sesi foto sendiri; Snow White sendiri tanpa kehadiran pangerannya-suamiku sedang pergi. Hasilnya cukup menyenangkan, kuberi narasi bahwa itu adalah lanjutan cerita Snow White setelah bertemu dengan pangeran dan kemudian menikah dan sedang menantikan kelahiran anak mereka. That's just a story I made up \^^/

Hari Jumat pagi itu kami periksa ke dokter kandungan untuk kesekian kalinya dan dokter mengatakan jika bayi dalam kandunganku akan lahir dalam jangka waktu satu minggu. Dan ide itu melintas di benakku, it is the time.

Aku menghubungi adikku sepulang dari RSU. Dengan senang hari kudapatkan kesediaannya untuk mampir sore ini ke rumah. Dan siang itu, sembari menunggu, aku browsing maternity shots lewat layar netbookku.

Dan begitulah sore itu, karena padatnya jadwal, selama sekitar 25 menit kami bertiga larut dalam 'pemotretan.' Beberapa frame terinspirasi dari foto-foto yang dilihat di internet. Namun yang namanya canggung ataupun mati gaya tetaplah ada; namanya juga bukan foto model.
Dua puluh lima menit itu menjadi salah satu best moments dalam masa kehamilanku. Bukan seberapa banyak atau seberapa bagus foto yang dihasilkan yang membuatku terkesan dan terkenang. Lebih dari itu. Ada kasih yang dibagi di sana. Kasih yang diberikan oleh suami dan adikku yang membuat impianku menjadi nyata.

Terima kasih Tuhan, sudah mengirimkan orang-orang yang mau berbagi denganku, mewujudkan mimpi dan menambah-nambahkan sukacitaku. Terima kasih untuk moment yang membahagiakan itu.

A picture is worth a thousand words. \^^/

Rabu, 03 September 2014

20 to 21: 30 and 0

Rabu 20 Agustus 2014 dini hari, sebuah ucapan selamat ulang tahun kuterima dari suamiku. Ya, it was my birthday. Waktunya berucap selamat tinggal pada usia twenty something. Akhirnya kucapai juga anak tangga ke 30. 

Pagi itu kami habiskan waktu di rumah saja. Karena sudah cukup siang terbangun dari tempat tidur, maka hari itu kami absen jalan-jalan pagi. Suamiku mengerjakan beberapa hal di depan laptop. Aku sendiri banyak bersantai. Lalu kami sarapan dengan lontong buatan bulik. Begitulah kami menghabiskan waktu pagi itu.

Sekitar tengah hari aku mulai merasa kontraksi ringan di perut. Setelah beberapa lama kucermati, kontraksi itu berlangsung setiap lima menit dengan durasi sekitar satu menit. Kami mulai mengira-ira dan menduga apakah hari itu harinya. 

Siangnya ketika mandi kutemukan sedikit flek berwarna coklat agak kemerahan. Kuberitahukan kepada suamiku bahwa sepertinya kami perlu ke rumah sakit. Kami bersiap, namun perlu makan siang terlebih dahulu. 

Nasi, buntil daun singkong, tempe bacem sebagai lauk serta segelas jeruk hangat jadi menu pilihan kami siang itu. Porsi yang cukup besar itu habis juga meski di tengah-tengah makan tetap kurasa kontraksinya. 

Seperti pesan dokter beberapa hari sebelumnya, kami menuju IGD tapi akhirnya harus tetap mengantri di poli kandungan, seperti biasa. Dan kami menunggu di antara para ibu hamil dan pasien lain selama sekitar dua jam. Kebetulan ada dua anak kecil yang menunggui ibunya periksa; sedikit banyak aku mencoba mengajak ngobrol mereka. Kontraksi ringan terus kurasakan, dan suamiku rajin melihat jam untuk mengecek frekuensinya. Sore itu kontraksi terjadi setiap tujuh menit. 

130/90 adalah hasil pengukuran tensi darahku. Tinggi juga, pikirku. Tetapi suster mengatakan masih bagus. Begitu masuk ruang periksa, dokter memeriksa kandunganku lewat monitor USG. Kesimpulannya, kepala belum sepenuhnya turun, kemungkinan masih minggu depan. Oya? Aku membeberkan semua gejala dan kondisi yang kualami. Kesimpulannya sama. Sambil bercanda beliau mengatakan, "Anda masih bisa senyam-senyum gitu. Nanti kalau sudah tidak bisa senyum, sudah heboh, baru akan lahir." Susternya juga menambahkan, "Kalau fleknya sudah merah, mbak." Oh begitu ya. Ya sudahlah kalau begitu. Maka kamipun beranjak.

Perjalanan kami lanjutkan ke apotek untuk membeli susu ibu hamil, karena stok sudah habis. Lalu kami ke salah satu toko perlengkapan bayi yang menyediakan susu untuk booster ASI. Setelah itu kami mengambil pesanan nasi godhog di warung langganan kami. Selama perjalanan itu aku masih meringis beberapa kali menahan sakit kontraksi perut. Kusadari ada peningkatan kadar sakitnya.

Sekitar jam tujuh kami sampai di rumah. Beberapa saat kemudian adikku datang membawakan roti tart lengkap dengan lilinnya. Yay! I blew the candles! Thank you, bro! Cherry dan coklatnya kunikmati. Cocok, pikirku. Coklat kan memiliki efek menenangkan dan mengurangi rasa sakit. Lalu kami makan malam-masih dengan meringis menahan sakit.

Begitu adikku pulang, keringat dingin keluar dan aku bergegas menuju kamar mandi. Aku muntah, seperti orang masuk angin. Segera aku ganti baju dan berbaring, seperi yang disarankan suamiku. Dia menemaniku sambil menonton televisi. 

Ibuku menelepon menanyakan kondisiku. Aku menceritakan semuanya. Beliau berpesan supaya sabar dan kalau ada apa-apa untuk segera menghubungi beliau. Akupun mengiyakan. Telepon kututup. Tak beberapa lama, aku kembali muntah. Ada apa gerangan, pikirku. Selama hamil saja aku jarang sekali muntah.

Dan sepanjang malam itu aku habiskan di kasur dengan menahan sakit. Entah berapa kali aku ganti posisi, miring kanan, kiri, bergelung, nungging dan semacamnya. Kontraksinya kurasakan semakin kuat. Suamiku ikutan bingung. Maka akhirnya jam setengah dua belas kami menuju ke IGD setelah sebelumnya aku mengirim pesan singkat kepada dokter yang biasa memeriksaku.

Suamiku memarkir motor di depan IGD dan mengantarku ke dalam. Oleh petugasnya kami ditanya, "Sudah benar mau melahirkan?" Sambil menahan sakit kuceritakan kontraksi yang makin sakit. Aku naik tempat tidur, diperiksa tensi 150/90. Luar biasa tingginya. Dan setelah perawat memeriksa, aku sudah sampai pada pembukaan delapan. Amazing!

Aku diantar ke ruang bersalin dengan kursi roda. Suamiku pulang mengambil tas perlengkapan, menghubungi orang tuaku dan menyelesaikan administrasi ini dan itu. Akibatnya aku cukup lama sendiri tanpa teman, sementara para suster mempersiapkan ini dan itu. Aku mengaduh beberapa kali. Aku menanyakan keberadaan suamiku, dan suster menjawab, "Itu sedang menyelesaikan administrasi." Beberapa kali aku merintih sembari terus memohon kekuatan dari Tuhan Yesus.
Setelah beberapa saat, akhirnya ibukku masuk dan menemaniku hingga persalinan rampung. Ibu berdiri di samping tempat tidur dan menyemangatiku. Aku memegang erat tangannya. Sangat erat. Rasanya ayem mengetahui beliau ada di sana, dan di luar ada suami dan ayahku yang juga ikut menunggui.

Dan proses itupun berlangsung. Pembukaanku komplit. Ketuban dipecah dan aku diinstruksi untuk mengejan. Di sinilah aku merasa kesulitan. Mengejan tidak mulus. Tehnik yang kupelajari, kudengarkan tak bisa kupraktekkan dengan baik; aku menyadari kelemahan kinestetikku. Kaku dan sedikit banyak masih merasa risih dan sungkan. 

Awalnya posisiku lateral seperti yang kubaca dari beberapa sumber termasuk buku hypnobirthing yang kubeli. Setelah beberapa kali gagal mengejan dengan posisi ini akhirnya dokter memintaku telentang. Aku masih berusaha, meski sempat merasa down  akan keberhasilannya, apalagi merasa bahwa tenagaku sudah menipis, makan malamku juga sudah kukeluarkan dalam muntahan sebelumnya. Dokter, suster dan ibu terus menyemangatiku. Aku juga sempat melihat gunting yang dipengang oleh dokter. Wah, siap-siap dirobek ini. Namun ternyata tak terasa sayatannya. Yang kuingat, puncaknya, suster membantu mendorong perutku dari atas. Cukup terasa sakitnya. Namun beberapa saat kemudian aku melihat sebuah kepala mungil berbalut rambut yang tebal. 

Anakku sudah lahir.

Perasaan yang sulit untuk bisa digambarkan dengan jelas. Lega. Takjub. Beberapa detik kemudian kudengar tangisannya. She's alive. Thanks God! 

Bayiku dibersihkan dan diberi baju serta dihangatkan di bawah lampu. Ari-ari diserahkan kepada ibuku dan beliau keluar dan diminta untuk menunggu. Aku melanjutkan proses. Dijahit. Sakit tapi tidak terlalu sakit. Aku menunggu selesainya proses ini sembari tak henti memandangi bayi mungil di ujung sana. "Itu bayi saya, suster?" aku bertanya dan diiyakan. "Tebal sekali rambutnya," gumamku.

Begitu selesai, suster ganti membersihkanku dan akhirnya menempatkan bayi kecilku di sampingku. Aku masih terus takjub dengan makhluk cantik mungil di sisiku itu. Segera aku mencoba IMD. Dia juga merespon dengan baik, meski ASI yang keluar masih sangat sedikit dan sangat bening.

Sekitar dua jam aku di sana, menikmati bonding pertamaku dengan anak perempuanku. Sesekali kudengar calon ibu yang lain yang masih berjuang menunggu proses kelahiran. Lalu suamiku datang dan menemani. Kami menikmati waktu itu bersama dalam sukacita yang tak terkatakan. 

Asha Karita Syalom, nama itu kami berikan. Doa bagi putri kecil kami yang lahir 50 menit lewat tengah malam, Kamis, 21 Agustus 2014. Biarlah hidup dan pengharapannya selalu berada kasih dan damai sejahtera.

Keluar dari kamar bersalin menuju kamar aku sudah bisa berjalan sendiri, meski perlahan-lahan. Dan di sanalah kami bersama. Orang tuaku tampak bahagia, menyandang status baru sebagai kakek dan nenek. Sepanjang dini hari hingga pagi itu kami bersama, bercakap dan bersyukur.

Setiap hari selalu ada hal indah yang Tuhan berikan. Dan tak ada satu hari setelah hari ulang tahunku yang ke 30 aku diberi-Nya anugerah yang sangat indah, putri cantik yang masih terus membuatku takjub akan kuasa-Nya. Terima kasih Tuhan. Sungguh sebuah penantian yang sangat berharga.

Senin, 18 Agustus 2014

Ada Dunia Baru

Sebelum dan selepas bulan puasa dan Lebaran, ada cukup banyak pernikahan dilaksanakan. Setelah menikah, aku sudah cukup akrab dengan acara bidstond persiapan pernikahan mendampingi suamiku. Salah satu yang menarik untuk diceritakan adalah beberapa waktu yang lalu ketika dalam sebuah bidstond tersebut ada sepasang suami istri, kebetulan duduk di sebelahku, yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama setengah abad dan dalam acara itu berduet menyanyikan lagu favorit mereka. Nampaknya lagu tersebut cukup lawas, namun baru kali itu kami mendengarnya. Judulnya Ada Dunia Baru.

Ada dunia baru Negeri harapan
Kukan sampai disana Bila kau membimbingku
Kuharap kau selalu, Kau ada disampingku
Karna hanya kau berarti bagiku

 

Bagi setiap insan ada pasangannya
Dan sudah kuputuskan kaulah teman hidupku
Meski kujelajah dunia sampai akhir hayatku
Namun hanya kau berarti bagiku

 

Jalannya masih jauh dampingilah aku
Bila taufan menderu jadilah kau panduku

 

Melimpahnya harta apalah artinya
Mungkin besok hilang lagi dan aku tak peduli

 

Tapi bila hilang cintamu, patahlah semangatku
Karna hanya kau berarti bagiku
Karna hanya kau berarti bagiku



Lagu tersebut terngiang-ngiang di telinga suamiku. Maka sepulang dari sana, kubuka laptop dan mencari lirik serta videonya. Menarik juga mencermati bait demi bait lagu tersebut.

Lagu itu dibuka dengan sebuah keyakinan bahwa ada dunia baru yang akan dihadapi manusia, dunia yang merupakan sebuah pengharapan. Boleh dikata dunia baru itu adalah 'surga,' atau kehidupan sesudah mati. Sebuah hal yang banyak menjadi keyakinan manusia yang percaya bahwa hidup tidak hanya berakhir di dunia ini, namun ada hal lain setelah itu. Lalu hidup di dunia ini dinyatakan seperti layaknya sebuah perjalanan panjang menuju tempat pengharapan itu. Sang komposer menyatakannya dalam lirik, "Jalannya masih jauh dampingilah aku."  

Menurut penuturan penggubah, setiap manusia diciptakan berpasangan, "Bagi setiap insan ada pasangannya, Dan sudah kuputuskan kaulah teman hidupku." Di sini diisyaratkan bahwa menikah adalah sebuah keputusan yang diambil secara sadar. Menikah berarti menganggap pasangannya sebagai teman hidup. Teman hidup yang akan menemani selama perjalanan menuju dunia baru yang penuh pengharapan itu. Dan penulis menyadari bahwa dalam perjalanan itu ada banyak tantangan yang harus dihadapi, bisa dikatakan sebagai persoalan-persoalan hidup. Dalam lagu tersebut digambarkan dengan kata taufan. Secara bersamaan penulis juga mengharap pasangan, teman hidupnya untuk menjadi pandu dalam perjalanannya. Supaya apa? Supaya tetap kuat berjalan, tidak mudah tergoyahkan, tersesat, bahkan tumbang dalam menghadapi pencobaan. 

Dalam lagu tersebut juga ada penekanan akan apa yang dianggap penting dalam membangun rumah tangga, bukan harta dunia namun cinta. Cinta yang bukan sekedar cinta, tetapi yang bisa membangkitkan semangat hidup.

Menghayati lagu ini dengan menyaksikannya secara langsung dari saksi hidup yang sudah menjalaninya selama 50 tahun tentulah menjadi sangat bermakna. Mereka sudah merasakan apa yang namanya taufan itu dan mereka tetap setia bertahan, menjaga komitmen untuk menjadi teman seperjalanan yang paling dekat satu dengan yang lain. 

Dalam salah satu pembahasan Pendalaman Alkitab bersama yang kuikuti, jelaslah bahwa hidup ini memang sebuah perjalanan keselamatan menuju kesempurnaan. Keselamatan hidup yang sudah diberikan dan diterima tidak lalu terhenti. Ada perjalanan panjang yang masih harus ditempuh hingga nanti kesempurnaan keselamatan itu diterimakan, ketika kita memasuki dunia baru yang dijanjikanNya. Dan dalam perjalanannya kita tak sendiri, ada teman-teman seperjalanan yang sama-sama menuju ke sana, meskipun tetap ini adalah perjalanan secara individu. Arti penting dari memiliki teman seperjalanan sudah tidak dapat disangsikan lagi. Mereka bisa menjadi teman ngobrol, berbagi; menjadi sesama yang saling menajamkan dan menguatkan-asal kita tak menjadi lemah pada akhirnya.

Dan pasangan hidup, suami atau istri, adalah teman seperjalanan yang paling dekat. Tak kita tahu seutuhnya bagaimana dunia baru itu adanya, namun satu keyakinan bahwa itu ada. Siapapun pasangan kita saat ini dan bagaimanpun keadaannya nanti di dunia baru itu, sunggulah penting untuk menjadi teman seperjalanan, menjadi tim yang baik. Keputusan menikah tentulah diambil secara sadar lengkap dengan konsekuensi yang menyertainya. Dan tujuan menikah bukan hanya bagi kepentingan kita di dunia ini saja, namun seperti yang tersirat dan tersurat dalam lagu Ada Dunia Baru, untuk bersama-sama menuju sebuah dunia penuh pengharapan baru kelak.

Masih sedikit hal yang kami pelajari dalam setahun perjalanan kehidupan berdua ini. Namun cinta yang menyemangati itu perlu terus diusahakan, mengingat cinta adalah kerja, bukan keadaan. Keputusan yang sudah kami ambil dan deklarasikan memang harus terus dipertanggungjawabkan. Dan kami belajar untuk itu. Karena ketika berdua kami tentu ingin menjadi lebih baik daripada ketika sendiri. Pun kami menyadari bahwa lagu itu harus saling dinyanyikan, bukan hanya satu pihak saja.

Dan tentu saja, aku bersyukur untuk teman seperjalanan terdekatku yang Tuhan berikan dalam hidupku. Praise the Lord for He is Good All the Time.

Minggu, 17 Agustus 2014

While I'm Waiting for You

Anakku sayang,
Apa kabarmu hari ini? Masih nyamankah kau di dalam sana? Aku masih menikmati gerakan aktifmu meski sudah tak sekuat beberapa waktu yang lalu. Senangnya menyapamu, merasakan gerakanmu setiap kali kau bereaksi terhadap suara-suara atau sentuhan dari luar. 

Jumat lalu kita cek ke dokter dan beliau mengatakan kau mungkin akan lahir dalam seminggu ini. Kami bahagia. Bahwa kau sehat dan kuat di dalam sana. Bahwa kau telah siap menyapa dunia baru dalam beberapa hari ke depan, yang kami masih belum tahu kapan. Kami harus bersiap.

Sore itu kita sudah mendatangkan seorang fotografer, yang adalah Om-mu, untuk mengabadikan saat-saat menjelang kelahiranmu. Dalam 25 menit photo session itu kita, bersama ayahmu, sudah beraksi bersama. Bukan seperti maternity shots di luar sana, namun tetap saja itu luar biasa. Kelak kau bisa melihat hasilnya.

Beberapa kali ibukku, nenekmu, sudah menanyakan apakah aku sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan, apalagi ketika aku bercerita tentang pegal dan sakit yang terasa di paha dan kaki kananku sejak seminggu yang lalu. Kau tahu, nenekmu juga sedang hamil pada hari-hari seperti ini di bulan Agustus. Aku yang ada di dalam kandungannya, sebagai anak sulungnya. Maka ketika tadi malam, tanggal 16 Agustus, orang-orang menghayati tirakatan malam 17 Agustus, hari kemerdekaan bangsa Indonesia, aku sedikit banyak ikut menghayati proses yang dialami nenekmu ketika itu. Bukankah hal yang luar biasa juga bila kami sama-sama mengandung dan menanti kelahiran anak pertama kami di bulan Agustus? Sungguh special. Mungkin saja kau lahir hari ini, tanggal tujuh belas, seperti pengharapan ayahmu dan beberapa orang juga. Atau mungkin juga kau akan lahir beberapa hari lagi, berbarengan dangan tanggal lahirku. Bisa saja kan? Ya, tapi kembali lagi, Tuhan penciptamu lebih tahu kapan waktu yang baik dan tepat bagimu untuk meninggalkan rahimku dan memasuki dunia yang penuh warna ini.

Mengenai waktu yang baik dan tepat, kami berdoa supaya kau lahir ketika ayahmu sedang tidak bertugas. Minggu ini tetap menjadi minggu yang sibuk baginya. Ada rapat, rangkaian bidstond penganten, PA, serta pemberkatan dua pasang calon pengantin di akhir minggu. Kehadirannya dalam proses kelahiran sungguhlah akan sangat berarti bagi kita berdua. Namun, jikapun tidak, kita harus siap. Dalam doanya ayahmu senantiasa menyebut kita berdua, untuk siap dan kuat dalam menghadapi proses ini. Bahkan, nenekmu juga sudah menyatakan kesediaannya untuk menunggui kita. 

Anakku, sembari menantimu, aku sudah ngobrol dengan beberapa teman, bahkan dengan nenekmu mengenai bagaimana menghadapi persalinan, apalagi untuk yang pertama kalinya. Banyak hal yang masih samar-samar, masih belum tahu bagaimana dan seperti apa. Namun semuanya memberi semangat dan motivasi yang baik. Bahkan ketika aku bertanya kepada nenekmu apakah merasa grogi dan nervous ketika akan melahirkan, beliau menjawab, "Tidak. Tidak usah grogi. Itu kan hal yang biasa dialami sebagai wanita." Yah, ibumu ini memang masih sering grogi dalam menghadapi sesuatu yang  baru. Masih banyak bermain logika dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tapi syukur kepada Allah, Dia yang memberi, pastilah Dia yang akan memberi kekuatan. Amin.

Jadi anakku, kami akan tetap menantimu, mendoakanmu dan belajar menjadi sabar dan tenang. Jika Tuhan sudah mempersiapkanmu untuk hari kelahiranmu kelak, kapanpun itu, lahirlah dengan penuh semangat dan sukacita. Mari kita bekerja sama sebagai tim yang solid, sehingga proses kelahiranmu akan menjadi kesukaan bagiku, bagimu, bagi ayahmu, bagi keluarga besarmu dan semua orang yang menantimu. Sementara kau masih di dalam sana, nikmatilah waktumu, dan tetaplah bertumbuh dengan sehat.

Anakku, kami tahu bahwa kelahiranmu akan membawa banyak sekali perubahan dalam hidup kami. Namun, dengan penuh semangat dan sukacita kami menyatakan bahwa kau sangatlah dinantikan, kau sangat kami rindukan, dan kami menyayangimu. Kau adalah anugerah Tuhan yang sangat indah bagi kehidupan kami berdua.

Peluk sayang,
Ibumu.

Selasa, 12 Agustus 2014

The Invitation and the Souvenir

1. The Invitation 
Konsep dasar undangan pernikahan kami adalah konsep surat. Salah satu penyaluran dari idealismeku, termasuk salah satu ayat favoritku, bahwa kita adalah suratan yang terbuka.

Serat Ulem 1
Undangan ini untuk hari H pemberkatan dan peneguhan nikah di gereja. Warnanya merah dengan gambar sepasang wayang Kamajaya-Kamaratih di depan, foto kami berdua di sudut kiri dalam serta denah lokasi dan puisi karya calon mempelai lak-laki di bagian belakang.

Masih kuingat ketika kami sore itu browsing contoh undangan yang berbahasa Jawa di internet kemudian menyusun desainnya. Untuk undangan ini kami menggambarkan  konsep hasil diskusi di secarik kertas. Proses selanjutnya diambil alih oleh panitia di gereja.

Serat Ulem 2
Meski mengusung konsep yang sama, namun penampilannya cukup berbeda. Boleh dibilang ini adalah undangan yang cukup narsis, mengingat ada 4 foto kami yang terpampang di sana. Dan ini adalah masterpiece dari adikku. Dari awal memang aku meminta kesediaannya untuk membuatkan dan dia mengiyakan. How lucky I am!

Konsep awalnya kubuat secara sederhana di word, lalu di depan komputer, adikku mendesain dan aku duduk di sana memberi masukan, ide dan komentar.
 
Background depan dan belakang berwarna dasar putih. Di halaman depan ada satu foto yang dimodifikasi seolah-olah sebagai perangko dengan stempel, “we’re getting married.” Di pojok kiri atas tertulis Serat Ulem dan di bawahnya tanggal pelaksanaan acara di rumah orang tuaku. 

Halaman dua dan tiga berkonsep seperti undangan pada umumnya, tentang identitas kami berdua beserta orang tua, tanggal pelaksanaan pemberkatan dan peneguhan pernikahan, serta tanggal pelaksanaan acara di rumah.  All are in Javanese. Dua foto kami yang diambil dengan setelan kebaya dan beskap. Nuansa hijau, hitam dan merah mendominasi halaman ini.

Halaman belakang berisi denah menuju lokasi yang diadaptasi adikku dari Google Map. Foto kami dipajang di sisi kiri dan kanan seolah sebagai bingkainya. Di bagian bawah aku menyisipkan kutipan dari Mother Teresa, “It’s not how much we do, but how much love we put in the doing. It's not how much we give but how much love we put into giving.” Selain belajar menghayati makna yang terkandung di dalam kalimat itu, sebuah unsur kesengajaan juga aku tambahkan. Unsur bahasa Inggris. Tidak menyangka sebelumnya bahwa undangan nikahku akan berbahasa Jawa. But, it was great!  
Proses desain adalah proses yang panjang dan berat. Aku tahu kerja keras adikku untuk membuatnya. Terima kasih untuk karya yang excellent, bro!

2. The Souvenir
PENSIL itu pilihan kami. Kami sama-sama menyukainya. Suamiku ternyata juga lebih suka menulis dengan pensil dibanding dengan pena. Sebenarnya kami menginginkan bentuk pensil yang segitiga seperti salah satu souvenir hotel yang kami jadikan referensi, namun kami mendapati hanya yang bulat. 

Yang tertera di sana nama, lokasi dan tanggal. Sebagai tambahan ucapan terima kasih, kutipan yang  lain dari Bunda Teresa kami sertakan, “Seumpama sebatang pensil di tangan Tuhan yang menuliskan surat cinta-Nya kepada dunia, demikianlah adanya kita.” Kutambahkan satu kalimat, “Bahagiaku menarikan bait-bait cinta itu bersamamu, kekasihku.”

Untuk souvenir yang di gereja, konsepnya juga sama namun kemasannya yang berbeda. Pensil itu terbungkus dalam kotak warna merah yang elegan. Nama kami berdua tercantum jelas di sana.

Ponsa Souvenir
Setelah survey beberapa kali di beberapa lokasi dengan beberapa keterbatasan yang ada, akhirnya kami memutuskan untuk memilih Ponsa sebagai tempat kami memesan souvenir dan mencetakkan undangan. Lokasi yang cukup dekat dan pemiliknya yang ramah menjadi alasannya. Aku mendapatkan nomor telpon dari souvenir yang kudapat dari reuni dengan teman-teman SMU.

Sang pemilik, Mbak Flo, yang ketika itu tengah hamil besar melayani permintaan kami, termasuk mencarikan pensil seperti yang kami inginkan. Menurut penuturannya, ini kali pertama membuat seperti yang kami minta. Meski hasil pensilnya tidak semulus contoh, kami tetap menyukainya.

Proses penyelesaiannya juga melalui tatap muka langsung dan juga melalui internet. Beberapa kali kami ke sana untuk mengecek dan mengambil pesanan. Dan di H-1 Mbak Flo dan salah satu teman prajabku datang ke rumah mengantar kekurangan souvenir sekaligus memberi souvenir dan hadiah bagi kami. Putranya juga sudah lahir beberapa waktu sebelumnya.

Jadi kesimpulannya masih sama, it was a great teamwork. Banyak pribadi yang terlibat dan menolong kami, termasuk mewujudkan idealisme dan ide-ide kami. Thanks all!

Minggu, 10 Agustus 2014

The Sunny Pre Wedding Shots





Salah satu moment yang tak terlupakan dalam rangkaian persiapan pernikahan kami adalah pre wedding shots. Dulu aku punya impian juga ingin merasakan bagaimana serunya pre-wedding shots itu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, beberapa tahun sebelumnya-sebelum bertemu dengan calon suami, aku sudah mencari-cari foto-foto pre wedding di internet dan menyimpannya di laptop. And dream came true. Praise the Lord!



Awalnya kami hendak meminta tolong adikku untuk menjadi fotografernya, toh dia sudah tahu angles andalan kami. Kami berdua juga sudah mereka-reka kira-kira mau befoto konsep yang seperti apa, di mana, bagaimana kostum, properti dan sebagainya. Namun tidak semuanya terwujud seperti harapan. Beberapa hal menjadi kendala untuk bisa mewujudkan semua seperti harapan. Meski demikian momen itu sungguh luar biasa.



Setelah dua jam menyelesaikan tugas mengajar hari itu, aku meminta ijin kepada kepala sekolah untuk meninggalkan kantor. Diantar calon suami, aku menuju salah satu salon yang direkomendasikan Pak Andre, fotografer gereja yang juga akan menjadi fotografer kami hari itu. Sementara aku dirias, tunanganku pulang mempersiapkan tugasnya hari itu dan mengambil kostum.



Kostum yang kami pakai ada tiga macam. Kostumku: kebaya merah dan rok jarik yang merupakan salah satu seserahan di hari pertunangan kami, kebaya jadul hitam motif bunga besar yang kami dapatkan di pasaraya beserta rok jarik putih milik ibu, kebaya putih lengan pendek dan rok klok panjang berwarna hijau yang sudah aku punya. Kostum tunanganku: beskap hitam komplit, surjan dan setelan jas. Semua properti pribadi yang sudah dipunyainya. Sempat kami mencoba mencari kostum, terutama gaun, namun mempertimbangkan waktu yang belum bisa fix, kami tidak jadi mengambil opsi tersebut. Sedangkan untuk properti tambahan ada buket bunga plastik hijau putih yang kupinjam dari Bu Tatik serta payung merah milik Bapak Patmaya.



Setelah selesai kami memakai kostum yang pertama dan waktu sudah lewat dari jam sepuluh. Kami bersegera ke lokasi. Untuk menuju lokasi, kami ditolong oleh Bapak dan Ibu Patmaya yang dengan sukarela menyediakan transportasi bagi kami. Lokasi yang kami pilih adalah Gedung MTC milik sinode GKMI yang berlokasi di dekat Gedung Bina Darma di Bugel. Tempat ini hasil rekomendasi adikku yang sebelumnya sudah pernah menggunakannya untuk kegiatan LDK bersama murid-muridnya. Beberapa waktu sebelumnya, kami berdua datang ke lokasi yang masih dalam tahap penyelesaian itu dan mengutarakan maksud kami. Pengurusnya, Mas Tomi, menyambut dengan tangan terbuka dan mempersilahkan kami untuk memakainya. Lokasi yang cukup dekat, dengan beberapa sudut yang menarik membuat kami mantap untuk memakainya. Lagipula tempat ini belum terlalu banyak terekspos, jadi lebih seru dibandingkan tempat-tempat lain di dalam kota kecil ini.



Tanpa menunda, kami langsung melaksanakan misi sesampainya di sana. Oh, it wasn’t easy. Kami tak terbiasa difoto resmi begitu dan disaksikan orang lain. Apalagi kami bukan model. Jadi banyak pose yang diulang-monoton, banyak pose yang kaku dan malu-malu. Tapi kami berusaha menikmatinya. Beberapa kali Pak Andre, Pak Maya dan Ibu meminta kami untuk santai dan tidak usah malu-malu beraksi. Tapi tetap saja kami masih banyak malu-malunya.



Kami mengakhiri sesi foto hari itu saat matahari makin terik bersinar. Bisa kami lihat usaha keras Pak Andre, termasuk cucuran keringat di wajahnya. Kamipun beristirahat di bangsal terbuka yang luas dan nyaman sambil menikmati semilir angin yang mengurai kepanasan siang itu. Konsumsi telah tersedia berkat tangan cekatan adik bungsuku yang kuminta membantu. Kamipun bersantap siang sambil bercakap-cakap.  Akhirnya kami berkemas, kembali ke salon untuk mengembalikan beberapa barang dan pulang.



What a day! Kami bersyukur dengan apa yang boleh kami nikmati. Sungguh suatu anugerah. Banyak pribadi yang menolong kami mewujudkan impian ini. We are so thankful. Hasilnya tercetak di undangan (akan menjadi cerita di posting yang lain), dua figura besar dan dua MMT; mungkin juga di MTC karena kami mengirimkannya juga sesuai permintaan Mas Tomi. Dan sampai sekarang aku masih suka membuka file dan melihat-lihat hasil jepretan Pak Andre tersebut. Tersenyum dan sekali lagi, tak henti bersyukur, untuk kisah dan kasih yang teranyam dalam perjalanan cinta dan hidup kami. Thank you, Lord! You are awesome.

Rabu, 23 Juli 2014

Waiting for Our Little One!


Happy Pregnancy Diary, buku ini yang menjadi salah satu bacaanku beberapa bulan terakhir. Kisah dua orang ibu, kakak beradik dalam menghadapi hari-hari mereka sepanjang kehamilan anak mereka yang pertama. Bahasanya ringan, ditambah ilustrasi gambar yang kocak membuatnya enak untuk kujadikan bacaan ringan sembari melewati hari-hariku yang tak lagi sama. Wow, I’m pregnant!

Awalnya aku masih seperti tidak percaya. Logikaku terlalu bermain. Meski hampir semua pasangan yang telah menikah mengharapkan kehadiran anak dalam rumah tangganya, aku tak menyangka berkat itu akan hadir dalam hidupku, secepat itu. It’s just amazing. 

Akhir Desember, tepatnya natal, kami mencermati hasil test pack yang menunjukkan dua garis merah cukup jelas. Kami bersukacita dan menyimpan pengharapan itu, meski belum yakin benar akan kebenarannya. Kepada ibuku aku menceritakannya dan beliau berpesan untuk tidak terlalu terburu-buru, supaya tidak ‘gelo’ atau kecewa kalau ternyata itu salah. Meski demikian beliau berpesan agar tetap menjaga diri dan berhati-hati. Uniknya, ketika aku menunjukkan hasil test pack itu, ibu malah bingung itu apa. Maklum pada masa beliau tidak model memeriksa kehamilan dengan alat semacam itu. Kalau mau tahu ya harus ke dokter, tes darah atau urine. Maka surprise itu sedikit harus kujelaskan. :)
 
Pertengahan Januari kami mengunjungi bidan tempatku dulu minta imunisasi TT sebelum menikah. Melihat hasil test pack tersebut beliau mengatakan kalau itu sudah positif. Aku masih belum 100% mempercayainya. Tapi vitamin kumakan dan saran beliau kuturuti.

Gejala yang mulai kurasakan pertama kali muncul ketika berada di dalam mobil seorang teman menuju lokasi Natal bersama keluarga besar sekolah tempatku mengajar. Biasanya aku tidak masalah dengan AC mobil, namun tidak dengan hari itu. Kepalaku terasa pening dan pusing, lalu keluarlah keringat dingin. Temanku yang memergoki keteleranku langsung menggodaiku, “Wah, tanda-tanda ini.” Syukurlah aku bisa kuat hingga akhir acara. Tidak ada muntah, hanya butuh beberapa waktu untuk mengembalikan kondisi setelah turun dari mobil.

Setelah beberapa kali mencoba mengunjungi dokter kandungan dan tidak cocok dengan jadwal, awal bulan Februari kami bertemu dengan salah satu dokter itu. It was unforgetable moment. Ketika untuk pertama kalinya kami melihat makhluk kecil di dalam rahimku melalui layar USG. Perasaanku tak terlukiskan. Kulihat suamiku juga menunjukkan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Kulihat binar di wajahnya, oh bahagianya. Si kecil sudah berusia 11 minggu. I was totally convinced.

Satu lagi pengalaman hidupku yang membuktikan kasih setia Tuhan untukku. Aku harus mengakui bahwa sometimes I underestimate God, my Creator. Namun dalam karya nyata-Nya yang Dia tunjukkan dalam rentang waktu hidupku, Dia telah meyakinkanku. Termasuk dalam hal ini, aku sungguh sangat bersyukur. Siapakah aku ini Tuhan hingga Engkau sedemikian mengasihiku dan mengijinkanku untuk merasakan salah satu anugerah indahmu, mengandung dan mengantarkan satu ciptaaanMu ke dalam dunia? Kuasa-Nya nyata, mengalahkan logikaku yang cenderung dominan.

Hari-hari pun kujalani dengan semaksimal yang kubisa. Kami meyakini Tuhan telah memilihkan waktu yang tepat untuk kami, bahkan menyesuaikan dengan kondisi pekerjaanku sebagai guru. Sebagai pengampu salah satu mapel yang diujikan secara nasional, sudah menjadi agenda tahunan jika kegiatan di semester pertama akan cukup padat. Selain jadwal reguler juga ada tambahan pelajaran untuk kelas 9 ditambah kegiatan ekstra kurikuler. Sementara kehamilanku dimulai pada akhir semester 1 dan kegiatan di semester 2 sudah lebih ringan. Aku yakin seandainyapun kehamilanku di semester 1 Tuhan pasti juga akan memberikanku kekuatan yang cukup, tapi diberikan privilege ini juga berkat yang wajib aku syukuri dan nikmati. Praise the Lord!

Morning sickness yang menjadi ciri khas wanita hamil juga sedikit banyak aku alami. Memang perubahan itu pasti terjadi dan setiap wanita mengalami hal yang berbeda. Dalam kondisi normal, indra penciumanku memang tidak terlalu peka, namun di awal kehamilan dulu justru menjadi sangat peka. Aku cukup sensitif bila mencium bau masakan yang sedang dimasak, termasuk nasi, di waktu pagi hari. Maka sensasi mual itu kurasakan. Aku muntah tak lebih dari lima kali. Cukup bandel rupanya. Mengingat cerita ibu, beliaupun juga tidak mengalami muntah ketika hamil.  Selain mual, keluhan yang sering kualami di awal kehamilan adalah pusing sebelah, migrain. Hanya beberapa kali saja yang masuk kriteria berat. Mungkin itu juga dipengaruhi oleh meningkatnya kepekaan pencimuanku. Kini, penciumanku kembali seperti biasa, tidak terlalu tajam dan sakit kepala juga tidak kualami. Syukur kepada Allah!

Ngidam? Itu cukup sering ditanyakan. Namun jawabku akan sama, “Saya tidak ngidam ik.” Tidak ada makanan atau minuman tertentu yang rasanya ingin sekali kumakan. Semuanya biasa saja. Yang tidak biasa seingatku ketika awal-awal kehamilan adalah merasa eneg dengan daging, baik ayam maupun sapi, dalam potongan besar. Menanggapi hal ini, suamiku yang baik hatinya dengan senang hati menemaniku makan steak, sambil mencoba apakah aku doyan atau tidak. Not bad. Aku cukup menikmatinya, tidak se-eneg kalau makan daging yang diolah biasanya. Suamiku juga beberapa kali akan menanyakan mau makan apa seandainya tidak masak di rumah. Yang lebih membahagiakan adalah kesediaannya untuk memasak. How blessed I am. Ya, masakan rumah tetap nikmat dengan bumbu cintanya.

Kehamilan ini juga membuka banyak percakapan. Ketika tahu aku hamil maka percakapan akan mengalir begitu saja, terutama dari para ibu atau senior yang sudah pernah mengalami, baik di lingkungan sekolah maupaun di komunitas gereja. Tak jarang aku akan mendengar banyak kisah-kisah unik dan menarik yang mereka ceritakan. Sungguh pengalaman yang bisa kupetik dari setiap kisah itu, memperkaya diriku yang masih hijau dalam hal ini. Banyak juga doa dan harapan yang mereka panjatkan yang serta merta aku aminkan. Aku pun menimba banyak pengalaman dari teman-temanku yang sudah terlebih dahulu merasakan mengandung dan melahirkan.

Yang menarik adalah aku memiliki a pregnant partner. Kami hamil dalam waktu yang hampir sama. Dia adalah teman sekelasku dua tahun di SMU dan teman sefakultas selama kuliah. Dia menikah terlebih dahulu, sekitar tiga tahun dan saat ini kami tengah menantikan kelahiran anak kami yang pertama. Suami kami juga berprofesi sama dan beberapa minggu lalu kami bersama dalam kegiatan retreat. Beberapa kali kami saling  berbagi melalui pesan singkat ataupun telepon. How fun! :)

Berbagai kegiatan kucoba nikmati dan jalani senormal mungkin. Aku sempat menemani murid-muridku foto untuk katalog di taman kota, dalam kondisi gerimis dari siang hingga petang hari; menjadi panitia Ujian Nasional di sekolah; memperigati hari Kartini dengan bersanggul dan memakai kebaya; serta menemani murid-murid di acara kelulusan dimana aku sebagai wali kelas harus berjalan, along the red carpet, bersama dengan mereka menuju aula. It was fun. Satu hal lagi yang cukup menarik adalah mengikuti seminar kurikulum 2013 selama hampir seminggu. Sebagai peserta, sepertinya aku cukup terkenal. Pasalnya dengan kondisiku yang sedang special ini, orang akan mudah mengenaliku, apalagi dengan memakai ‘daster’ sebagai outfitnya. Naik turun tangga menjadi olah raga bagi kami selama beberapa hari tersebut karena ruangan dan lokasi makan serta toilet berjauhan, berada di lantai yang  berbeda. Aku menghayatinya bersama dengan calon anakku. Kami bekerja keras bersama, bahkan anakku sudah kenal dengan kurikulum yang baru saat dia masih dalam kandungan. How interesting! 

Dan kini, memasuki libur menjelang Lebaran, menuju masa cuti dan menunggu detik-detik kelahirannya adalah waktu yang penuh rasa. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkannya. Aku menikmati setiap saat yang tersisa; berjalan-jalan pagi bersama suami, mengelus perut dan menikmati sensasi gerakan bayiku di dalam sana yang kadang kencang dan sangat aktif, menikmati dan memperdengarkan musik instrumen klasik hasil browsing di internet, mengerjakan aktifitas sehari-hari sambil bercakap dengan si kecil yang masih belum melihat dunia ini, hingga berpose di depan kamera. I enjoy them all. Apa yang akan kuhadapi, belum kuketahui, apa dan bagaimana dan seterusnya, namun keyakinanku semua akan baik-baik saja. Tuhan akan memberikan semua yang kami butuhkan, baik secara fisik, psikologis, finansial dan semuanya. Terima kasih, o Tuhanku untuk kasih setia-Mu, untuk suami, keluarga dan orang-orang yang mengasihiku dan untuk hidupku ini. We are happily and faithfully waiting for our little one to come. :)