“Say
it with book.” Itulah ungkapan yang
cocok untuk kisah cinta kami. Berawal dari sebuah buku teologi tebal bersampul
hijau yang akhirnya tak sanggup kuselesaikan terjemahannya. Lalu “Selamat Panjang Umur,” sebuah kado pengingat
pergantian usiaku yang ke 27. Dan setelah makan siang dan duduk di boncengan
motornya untuk pertama kalinya, dia mengulurkan sebuah kejutan lewat buku “Wow, I’m a Priest Wife” yang cukup
membuatku ber-“WOW.” Itu selama masa PDKT.
Dan
kemudian berlanjut pada masa-masa awal kami belajar membangun hubungan, “Menggapai Kepribadian Dewasa” serta
biografi Pdt. Brotosemedi. Buku renungan bulanan juga menjadi hal yang
istimewa. Terima kasih telah mendeteksi salah satu kerinduan hatiku. Terima
kasih telah menjadi partner membacaku.
“The Love Dare,” buku
kembar kami, dipesan dan dikirimkan seorang teman yang kala itu bekerja di ibu kota,
memori Valentine’s day kami yang pertama. Sebuah pembelajaran tentang cinta
yang tidak bisa dipelajari hanya dalam 40 hari saja, namun terus dan harus
terus diulang.
Cerita
tentang buku terus mewarnai perjalanan kami. Tak heran jika toko buku menjadi
salah satu tempat favorit kami. Kami terus membaca dan bertukar buku. Pernah
dia mengungkapkan keheranannya mengetahui koleksi buku-bukuku yang cukup banyak
‘berbau’ teologi, meski yang ringan. Akupun tentu tak merancangnya. Tersenyum
mengingat hal itu. Bersyukur dipertemukan dengan seorang yang memiliki ‘passion’
yang sama dalam membaca buku.
And I always want to say it with books. Ada cinta dalam buku-buku itu. Mencari, membaca, merenungkan, bahkan mungkin suatu saat nanti, membuatnya bersama.

0 komentar:
Posting Komentar